Garut, 29 Maret 2015
Waktu pun mengalah kepada sang rembulan yang memaksa hari untuk berganti, meskipun matahari pagi belum bersemi.
Dua hari yang lalu merupakan salah satu peristiwa bersejarah dalam lini masa hidupku. Pasalnya, aku telah resmi menyelesaikan jenjang akademik yang lebih tinggi daripada batas minimal yang konon dilabeli sebagai "manusia intelek" oleh status sosial.
Puluhan ucapan "selamat" secara implisit maupun eksplisit pun kuterima. Dari orang tua, kakak-kakak tercinta, para sahabat dan teman baik, bahkan orang-orang yang sudah lama kukenal lalu hilang bersembunyi di balik bayangan pun kembali memasuki cahaya hanya untuk mengucapkan,
"Selamat atas kelulusannya!"
atau
"Congraduations! I am so proud of you!"
Tanpa mengurangi rasa syukur, Aku membalas terima kasih, dengan alakadarnya. Lalu timbul satu pertanyaan dalam hatiku akan ucapan-ucapan itu.
"Apa yang harus kubanggakan?"
Yes, that is exactly what my heart said to me.
Hal ini bisa jadi terdengar sedikit janggal bagi seorang wisudawan dengan indeks prestasi memuaskan di salah satu kampus ternama. Tapi tidak bagiku, kata-kata itu mengiang begitu keras sampai membentur gendang telinga. Disusul benturan pertanyaan antara dua sisi dalam diriku. Pertanyaan-pertanyaan seperti :
"Apakah aku harus bangga terhadap diriku untuk menyelesaikan sesuatu yang memang sudah seharusnya aku selesaikan?"
"Apakah aku harus berbangga diri dengan indeks prestasi memuaskan sementara banyak lulusan lain yang memiliki indeks prestasi lebih tinggi bahkan dengan bonus prestasi akademik lainnya?"
"Apakah aku harus berbangga diri akan kelebihan ilmu yang kuperoleh sementara banyak saudara setanah airku yang belum mampu mencicipi pendidikan paling dasar sekalipun?"
"Apakah aku harus puas dengan predikat dan gelar baru sementara aku masih belum dapat menyalurkan dan mengamalkannya?"
Jawabannya adalah tidak.
Ya, tidak.
Tidak boleh berbangga.
Dan tidak pula harus menjadi puas.
Rasa bangga itu seringkali menyesatkan. Menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesombongan.
Sombong karena merasa lebih tahu.
Sombong karena merasa lebih cerdas.
Sombong karena merasa lebih pandai
Aku teringat pada satu peribahasa "Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk."
Meskipun telah lama aku mengetahui artinya, baru kali ini aku benar-benar memahami kedalaman maknanya. Sebagaimana yang telah diilustrasikan sebelumnya.
Hari ini aku menjalani wisata keluarga besar ke Garut. Meskipun singkat, perjalanan dari Bandung ke Garut dan waktu yang kuhabiskan di sini cukup membuatku tersadar. Bahwasanya memang manusia tidak berhak untuk berbangga hati, apalagi menyombongkan diri.
Lihatlah sekitarmu.
Orang-orang di sekelilingmu.
Hamparan alam (yang mungkin telah banyak disulap menjadi beton bertingkat oleh ribuan tangan manusia) di kanan dan kirimu.
Tanyakan kepada dirimu, "Hal baik apa yang sudah pernah kamu lakukan untuk mereka? Untuk manusia dan untuk alam."
Lalu tengadahkan kepalamu ke atas langit, dan perhatikan tanah tempat kakimu menjejak.
Oooh, Tuhan..
Langit-Mu begitu tinggi dan luas. Dan Engkau menciptakan kami semua dari tanah yang kami injak.
Jauhkanlah kami dari sifat berbangga hati dan sombong atas segala hal yang Engkau titipkan di dunia ini. Bimbinglah kamu untuk dapat menyalurkan karunia-Mu dan mengamalkannya dalam jalan-Mu.
Engkaulah Yang Maha Agung.
Yang Maha Besar dan Berkuasa.
Satu-satunya Dzat yang berhak menerima pujian serta kebanggan atas ciptaan-ciptaanmu.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.