Malam itu, tentara hujan kembali turun
menggempur bumi. Petir bergemuruh di atas langit membuatku membayangkan keadaan
ketika Perang Dunia II masih berlangsung. Tapi, ah, sudahlah, itu tak penting.
Ada hal lain yang lebih menyita perhatianku, adalah suatu aroma yang kukenal
dengan baik.
Kopi.
Diriku seakan tersihir ketika aroma itu merasuki hidung.
Sensasi yang sama seperti ketika Profesor Lockhart meneriakkan mantera Obliviate untuk menghilangkan dan memanipulasi
memori Harry dan Ron di jalan menuju Kamar Rahasia tetapi malah terkena
manteranya sendiri. Kemudian Harry… Ah, lagi-lagi aku menceritakan hal yang
tidak penting, kalian semua pasti sudah tahu cerita itu, bukan?
Maksudku di sini, aroma kopi mampu menimbulkan sensasi
yang dapat memanipulasi memori. Atau mungkin lebih tepat jika aku bilang
sensasi yang dapat mendatangkan kembali memori yang telah lama terkubur di
dalamnya alam bawah sadar.
Memori
akan kebahagiaan,
Memori
akan kesedihan,
Dalam
secangkir kopi…
***
Sore itu, aku sedang berkencan di kedai kopi
tua favoritku di daerah Dago Atas. Sebuah café bergaya naturalis dengan meja dan
bangku kayu serta pemandangan Bandung di balik kusen dengan ukiran khas Jepara
berhiaskan ranting pohon tua di belakangnya. Kencan manis bersama laptop dan
setumpuk kertas data skripsi yang harus kuolah.
Hahaha!
Betapa menyedihkan…
Sementara teman seperjuanganku telah melanjutkan
hidupnya dengan menikah, melanjutkan pendidikan ke jenjang Master bahkan Doktor, meniti karier di perusahaan besar,
atau mulai membuka bisnis baru, aku masih saja bergelut dengan tugas akhir.
Yah, beginilah nasib mahasiswa salah jurusan.
Motivasi
rendah, mata kuliahnya sulit dimengerti, dosen terasa galak dan kaku.
Dan
seterusnya, dan seterusnya…
Meskipun bisnis kecilku berjalan lancar dan terus
berkembang, tetapi orang tuaku terus mendesak agar aku cepat lulus dan bekerja
di perusahaan Ayahku. Sementara aku punya impian lain. Dan kakiku terus
melangkah menuju impian itu hingga menjadi kenyataan.
“Selamat
siang.. Pesanan yang biasa, Mas?” Rani bertanya padaku.
Ia adalah seorang pramusaji di tempat ini. Parasnya
cukup manis. Matanya tajam dan bercahaya, pipinya bulat seperti bakpau. Tapi,
namanya juga manusia, selalu mencari kesempurnaan dalam segala aspek
kehidupannya. Jika saja perawakannya tidak seperti kucing hamil dikombinasikan
dengan kuda nil yang sedang berkubang, dengan lipatan tubuh yang jumlahnya
lebih dari manusia normal. Belum lagi rambutnya yang tajam dan berantakan
seperti giginya, mungkin dia sudah aku ajak kencan.
“Mas?
Mas Drian? Mau pesan apa?”
“Ah,
iya. Pesan yang biasa aja, Ran. One Dreamcatcher
for this Mr. Lonely.” Lamunanku terpecah oleh pertanyaannya.
Dreamcatcher. Minuman kesukaanku di tempat ini. Bahkan sebelum
minuman itu datang, aku dapat merasakan sensasinya di mulutku. Racikan biji
kopi robusta dicampur dengan sirup hazelnut dengan gambar daun di
permukaannya. Entah mengapa minuman ini selalu berhasil mengaktifkan hormon
endorfin dan memunculkan mood positifku.
“Oke,
tunggu sebentar ya. Saya ambilkan dulu pesanannya.” Ucap Rani sembari
meninggalkanku. Dapat kudengar ia berteriak kepada Barista yang tak jauh dari
meja tempatku berada.
“ONE
DREAMCATCHER, PLEASE! GAK PAKE LAMA!”
Teriak Rani.
“Buat
jadi dua, ya, Mbak,” sambar seorang wanita kepada Rani, “Saya pesan Dreamcatcher juga, tapi dibungkus.”
“Oke,
Mbak. Tunggu sebentar ya,” tanggap Rani dilanjutkan dengan teriakan kedua
kepada Barista.
Wanita itu kemudian menatapku. Lalu melangkah
mendekatiku. Aku langsung berlagak cuek kembali menatap layar laptopku yang
masih kosong.
“Hai,
boleh ikut duduk di sini?” Tanyanya. “Aku sedang menunggu pesananku. Atau mungkin lebih tepat jika aku bilang pesanan kita.” Ia
berdiri di sebelah kursiku, menungguku mempersilakannya duduk.
Naluri lelaki dalam diriku segera mengirimkan
sinyal ke otak, memerintahkan mataku untuk mengamatinya dengan cepat, seperti anti-virus
di komputer yang melakukan scanning
terhadap flashdrive yang baru
dicolokkan.
Tubuh mungil, tapi montok. Lekukannya terbentuk
jelas di balik setelan skinny jeans
berwarna biru tua dan kaos putih kebesaran yang memamerkan bahunya. Ditambah gelang-gelang kayu di pergelangan tangan kanannya, jam tangan casio
emas di tangan kirinya, dan beberapa cincin unik berbentuk burung hantu dan storm trooper dari toko Widely Project
di jarinya yang mungil. Tak lupa kalung dreamcatcher tergantung di lehernya. Kini aku tahu kenapa dia memesan minuman yang sama denganku.
Parasnya pun sangat manis. Deretan gigi yang
teratur dan bibir yang tipis membuat senyumannya terlihat sangat indah.
Rambutnya yang pendek menggelitik bahu dan lehernya ketika angin bertiup. Bola
mata yang sangat bulat dan jernih melempar tatapan bersahabat dari balik bulu
matanya yang lentik. Cantik. Hatiku berbicara.
“Si...
Silakan, Mbak, Dreamcatcher ...” Aku tergagap. Entah mengapa.
Mungkin karena ini kali pertama ada wanita cantik menghampiriku sejak sebulan lamanya
aku bermeditasi di tempat ini setiap hari.
“Hahaha..
Namaku bukan Dreamcatcher . Aku Bunna Aisha. Kamu boleh panggil
aku Bunna.”
“Ha..
Halo, Bunna. Aku Drian.” Lidahku masih gemetaran. Untung saja tanganku masih
bisa bergerak normal ketika dia menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
“Namamu,
Bunna. Apakah ini seperti yang aku pikirkan?” Tanyaku.
“Kalau
kamu berpikir tentang asal muasal Kopi, ya, kamu benar.” Jawabnya. “Kau tahu,
kopi itu pertama kali ditanam di Kerajaan Kaffa di Ethiopia?” Lanjutnya.
“Ya,
Aku pernah dengar kalau biji kopi pertama ditanam di sana dan disebut bunn atau bunna. Kemudian kopi mulai tersebar di Eropa pada masa Kekaisaran Turki
Ottoman yang hendak menyerang Wina pada tahun 1529. Hanya saja mereka mengalami
kekalahan, dan orang-orang Wina menemukan perbekalan kopi mereka dan mulai
menyebarkannya,” Kataku.
“Wow!
Aku terkejut kamu tahu sebanyak itu. Kebanyakan orang hanya mengenal kopi itu
dari Italia.” Ucap Bunna terkesima.
“Hehehe..
Aku.. Cukup banyak membaca..” Aku tersipu malu.
“Ayahku
dulu seorang Barista. Nama yang diberikannya kepadaku ini didorong oleh rasa
cintanya terhadap kopi. Dan sepertinya bukan hanya nama yang diwariskannya,
tetapi juga rasa cintanya terhadap kopi. Aku sangat suka kopi.” Bunna menjelaskan.
Aku tersenyum mendengarnya. Menyimpan laptopku di
atas meja dalam keadaan tertutup. Percakapan dengannya jauh lebih menarik
ketimbang menyelesaikan penelitianku. Kami pun melanjutkan perbincangan.
“DUA
DREAMCATCHER SIAP DIHIDANGKAN!” Rani
mengejutkanku dari samping.
“WILL
YOU PLEASE STOP YELLING, HIPPO GIRL!!”
Ingin rasanya aku berteriak seperti itu. Jika bukan
karena Bunna di depanku dan aroma kopi pesananku yang merasuki hidungku, aku
sudah melakukannya.
Alih-alih
aku menjawab dengan dingin, “Terima kasih, Ran. Simpan saja di atas meja.”
Rani meletakkan pesananku dan Bunna di atas meja.
Lalu bergegas pergi sambil mencibir. Agaknya dia sedikit cemburu melihat
keceriaanku bersama Bunna.
“Pesananku
sudah datang, Dri. Aku pergi dulu ya..” Perkataan Bunna mengejutkanku untuk
kedua kalinya setelah raungan Rani di sebelahku.
“Kamu
sudah mau pergi lagi?”
“Aku
ada janji bimbingan dengan dosen sore ini..” Jawabnya.
“Can’t
you just finish your coffee first and have another chit-chat with me?” Aku
sedikit bersikeras memintanya untuk tetap tinggal.
Bunna mengambil selembar tissue, lalu menulis
sesuatu di atasnya. “Maaf ya.. Aku sudah terlambat.. Tapi kamu boleh
menghubungiku nanti..” Ia memberikan tissue yang bertuliskan nomor teleponnya
kepadaku.
“See
you later, Mr. Dreamcatcher . It was
fun talking with you..” Bunna tersenyum seraya berjalan ke luar. Aku hanya bisa
membalas senyumannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Seakan mengerti apa yang kurasakan, lagu “Falling in Love at The Coffee Shop” dari
Landon Pigg mengalun di udara.
“I think that possibly, maybe
I’m falling for you
Yes there’s a chance that I’ve
fallen quite hard over you.
I’ve seen the paths that your
eyes wander down
I want to come too…
I think that possibly, maybe
I’m falling for you
Yes there’s a chance that I’ve
fallen quite hard over you.
I’ve seen the waters that make
your eyes shine
now I’m shining too…”
***
Hari ini sedikit berbeda dari biasanya. Aku
tidak pergi ke kedai kopi langgananku seperti biasanya. Aku memberanikan diri
untuk menelepon Bunna sehari setelah pertemuanku dengannya. Bukan percakapan yang
panjang. Aku hanya mengajaknya pergi kencan.
Jika kamu bertanya-tanya tentang bagaimana
kelanjutan skripsiku, hilangkan itu dari pikiran kamu. Tentu saja aku
meninggalkan laptop dan tumpukan berkas demi pergi dengan Bunna. Hahaha!
Berbeda dengan kencan pertama yang biasanya orang
lain lakukan. Pergi menonton di bioskop lalu makan malam? Bah. Membosankan.
Kami melewatkan seharian untuk pergi ke museum-museum di Bandung dan mencari
jajanan kuno di sekolahan. Kue Ape. Kue Cubit setengah matang. Bandros.
Arumanis Jerami atau yang biasa disebut Rambut Nenek. Sedikit nostalgia dengan
masa kecil dan diakhiri dengan kunjungan ke rumah Bunna.
“Masuk,
Dri.” Ajak Bunna.
“Kamu..
Tinggal sendirian di rumah sebesar ini?” Tanyaku sedikit canggung.
Bagaimana tidak. Rumahnya adalah sebuah
bangunan tua dengan sentuhan arsitektur Belanda yang sudah sedikit
dimodifikasi. Paling tidak ada sekitar 8 kamar utama dalam rumah ini. Yang
sudah pasti tidak ada yang menempatinya, pikirku. Hanya ada aku dan dia di
dalam rumah itu. Aku harus berusaha keras untuk menolak bisikan setan di
telinga kiriku. Untung saja malaikat di sebelah kananku lebih kuat.
“Yup.
Sebetulnya dulu rumah ini seperti kebun binatang, selalu berisik. Tapi sejak
Ayah dan Ibuku meninggal karena kecelakaan mobil 7 tahun lalu, rumah ini seakan
kehilangan pemiliknya. Kehilangan jiwanya.” Cerita Bunna. Terdengar nada sedih
ketika dia bercerita.
Aku terdiam. Bingung untuk memberikan reaksi yang
tepat.
“Kemudian,
satu persatu anggota keluarga ini mulai melanjutkan hidup setiap tahunnya. 3
kakakku yang paling besar tinggal di luar negeri. 3 lainnya tinggal di luar
kota bersama keluarganya masing-masing. “Sekarang, tinggal aku si bungsu,
sendirian di rumah ini.” Lanjutnya.
Dapat kulihat sekilas matanya berlinang air mata.
Mungkin ini penyebab bola matanya begitu cerah dan bercahaya. Air mata begitu seringnya
membasahi wanita kesepian ini. Aku kembali terdiam. Semakin bingung untuk menanggapi.
Aku hanya tersenyum.
Seakan
menangkap sinyal kebingunganku, Bunna menarik tanganku. “Hei! Let me show you something!”
“Apa?”
Tanyaku.
“Udah,
ikut dulu aja, yuk!” Paksa Bunna. Kami pun melangkah ke dalam dapur.
“Wow!
Ini semua barang asli? Gila.” Pekikku.
“Hahaha.
Aku sudah mengira reaksimu akan seperti itu.” Canda Bunna.
Deretan coffee-maker
tua bertengger di atas rak. Mulai dari mesin espresso tahun 1933 penemuan Dr. Ernest Illy hingga Jasper
Morrisson’s Coffee-Maker tahun 2004
tersimpan rapi. Dan yang lebih mengejutkan, semuanya masih berfungsi dengan
baik.
“Aku
buatkan kamu kopi, ya?” Tanya Bunna.
“Boleh.
Jangan pake racun ya. Awas kalau rasanya nggak enak. Hehehe..” Candaku.
Bunna tertawa. Lalu dia memperlihatkan
kemahirannya membuat kopi. Mulai dari menciumi wangi biji kopi robusta, memasukkannya ke dalam mesin,
hingga meraciknya sirup dan sesuatu yang sepertinya menjadi ramuan rahasianya.
“One
Nice Dream is ready!” Teriak Bunna
bersemangat.
“Nice Dream? Kok namanya mirip pesananku
di kedai kopi kita?” Protesku.
“Bawel
ah. Nama boleh mirip, tapi rasanya jauh beda. Soalnya ini kopi buatanku.” Ucap
Bunna sembari meletakkan dua cangkir kopi di atas meja.
Benar saja. Dari aromanya saja kopi itu terasa
nikmat. Asap putih yang mengepul dari balik permukaannya menggelitik bulu
hidungku. Sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seolah-olah aku
diajak terbang ke angkasa ketika aku memejamkan mata dan menghirup aromanya.
“Kopi
ini… Kopi terbaik yang pernah kuminum!” Teriakku. “Bunna! Kamu harus membuka
kedai kopi sendiri! Kopi ini pasti menjadi minuman kesukaan semua orang! The Dreamcatcher - one sip for one dream!”
Lanjutku bersemangat.
“Hehehe..
Makasih, ya.. Tapi aku tak berminat menjadi Barista. Mungkin suatu saat aku
akan menjual resep kopi ini. Aku
lebih suka menikmati kopi buatan orang lain atau membuatkan kopi untuk
seseorang yang spesial di kehidupanku.” Ucap Bunna sambil menyentuh tanganku
dan tersenyum manja.
Mata kami saling bertemu, menatap dalam seakan
sedang saling menelusuri jiwa. Jemari kami bersilangan. Jarak antara aku dan
dia semakin hilang. Kali ini bukan aroma kopi yang merasuk ke hidungku,
melainkan wangi tubuh seorang wanita cantik di hadapanku. Kami berpelukan.
Dapat kurasakan hembusan napasnya di wajahku dan darah mengalir deras hingga
terdengar detak jantungku sendiri. Tak lama bibir kami bersentuhan. Kebahagiaan
yang kurasakan berjuta kali lipat lebih besar dari kebahagiaan menghirup aroma
kopi kesukaanku. Kami berciuman.
***
“BLAR!!!”
Suara petir kembali memecah keheningan. Kaca jendela
mengalunkan nada tak teratur suara ketukan air hujan. Terdengar pula derap
langkah ringan menaiki anak tangga di luar kamar. Tak lama sayup suara wanita
cantik memanggil dari balik pintu.
“Dri,
masih beresin kerjaan, ya?”
“Hei.
Kamu belum tidur? Aku sebentar lagi beres kok.” Jawabku.
“Aku
barusan bikin kopi kesukaan kamu. Robusta
dengan sirup hazelnut dan ramuan
rahasia. Nice Dream for my Mr. Nice
Dream!”
“Wah..
Makasiiiih.. Gak salah deh aku nikahin kamu, Nad..”
“Aku
tidur duluan, ya. Titip anak-anak, ya, Dri.” Ucapnya.
“Sip.
Nanti aku nyusul. Tanggung nih dikit lagi beres. Have a nice dream, Nadira.”
Balasku.
“Nice Dream-nya kan udah kamu minum. Aku mau sweet dream aja
deh. Hehe.” Candanya.
“Hahaha...
Dasar… Garing luuu! Sini aku cium dulu.” Nadira pun meninggalkan ruang kerjaku
setelah aku mencium keningnya.
Nadira. Wanita yang sekarang menjadi istriku. Bukan
Rani. Bukan pula Bunna.
Rindu. Aku rindu Bunna.
Hanya satu hal yang dapat
kulakukan untuk menebus rasa rinduku, dengan menikmati resep kopi buatannya.
Selagi menyeruput kopiku, iTunes player di komputerku memutar lagu Nice
Dream dari Radiohead.
“They love me like I was a
brother
They protect me, listen to me
They dug me my very own garden
Gave me sunshine, made me
happy
Nice dream, nice dream, nice
dream..
I call up my friend, the good
angel
But she's out with her
ansaphone
She says she would love to
come help but
The sea would electrocute us
all
Nice dream, nice dream, nice
dream..
If you think that you're
strong enough
If you think you belong enough
If you think that you're strong
enough
If you think you belong enough
Nice dream, nice dream, nice
dream..”
***