About Me

Foto saya
I play at everybody's mind. I live in everybody's heart.

Jumat, 17 September 2010

AH, BIASA..

Suatu pagi di rumah..

“Yah, kemarin aku lihat di berita. Katanya DPR mau bikin gedung baru. Dasar gila.” Kata seorang anak kepada ayahnya.

“Ah, itu sih biasa.” Sang ayah merespon seadanya sambil membalikkan halaman korannya.

“Iya, sih. Terus tadi aku lihat di Twitter. Para anggota DPR pada mau studi banding Pramuka ke Afrika coba. Aneh banget deh. Kepala mereka itu ada isinya nggak sih?”

“Yaaah, itu juga sudah biasa.” Ayah asyik menghisap rokok dan menyeruput kopinya.

“Ah, Ayah nih dari tadi cuma ngomong biasaaa aja terus. Payah. Aku udah beres sarapannya. Aku pergi sekolah dulu ya.” Anak itu berkata dengan muka masam.

“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, Indri. Jangan keluyuran. Sini cium tangan Ayah dulu.”

“Dah, Ayah. Assalamualaikum.” Indri mencium tangan ayahnya lalu pergi.


***
Siang hari di pasar tradisional..

“Pak, jual ayam potong kan? Berapa harga per ekornya?” Tanya seorang ibu kepada penjual di pasar.

“Ada, Bu. Harganya tiga puluh ribu. Mau saya potongkan jadi berapa bagian?”

“Hah? Kok mahal amat? Perasaan beberapa hari yang lalu harganya masih kisaran dua puluh ribu?” Ibu itu seakan terkejut mendengar harga yang ditawarkan oleh si penjual.

“Ah, biasa atuh, Bu. Harga ayam sekarang memang segitu. Kalo ibu beli di supermarket pasti lebih mahal lagi.” Penjual itu memberi alasan.

“Hmm, gitu. Ya sudah, tolong ayamnya seekor ya pak. Potong jadi delapan bagian saja. Bapak jual cabe merah juga gak?”

“Ada, Bu, harganya sama, tiga puluh ribu juga per kilo. Mau sekalian beli cabe merahnya, Bu?”

“Heh? Yang bener aja, Pak! Harga cabe sekilo kok bisa sama dengan ayam seekor? Kacau nih si bapak. Ckck.”

“Ya, biasa atuh, Bu. Harga sembako memang sedang naik semuanya. Beras juga naik harganya. Kalo ibu gak percaya, coba tanya aja sama penjual sebelah.” Ucap si penjual sembari menunjuk pada penjual lain di sebelahnya. Perlahan penjual di sebelahnya pun menganggukkan kepalanya.

Ibu itu menghela napas. “Ya udah, ayamnya seekor, cabe merahnya setengah kilo aja ya, Pak. Mahal banget soalnya.”

“Siap, Bu. Tunggu sebentar ya.” Si penjual pun memotong ayam pesanan ibu itu.


***
Sore hari di kampus..

“Sial. Baru aja gue mau balik. Eh, tiba-tiba hujan. Maunya apa sih ini langit?” Ucap Indra mengutuk langit.

“Hahaha. Sabar kali, Ndra. Ini kan udah biasa. Emang udah dari awal tahun hujan gak berhenti.”

“Iya, sih, Man. Gue males aja kalo hujan. Jalan ke rumah gue pasti banjir. Heran deh gue.”

“Ya, udah biasa kali. Gak di daerah rumah lo doang yang kebanjiran. Sekarang hampir di tiap tempat pasti banjir kalo lagi hujan. Udah mah tiap hari hujan, jalanan makin rusak, gak dibenerin pula sampai kiamat, saluran drainase juga ngaco semua, mana masih ada aja orang yang buang sampah sembarangan. Tolol.” Iman menambahkan.

“Iye, iyeee. Gue juga tahu kali, bawel lo ah, Man. Udah ah. Gue balik duluan yee. Tugas hari ini banyak gila.Ciao.”

“Sip. Gue bentar lagi deh. Masih puyeng nih kepala beres kuis dadakan barusan. Hati-hati lo, Bro.”

“Oke, Thanks, Man.” Indra berkata seraya berjalan meninggalkan Iman.


***
Malam harinya..

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Kok malem amat pulangnya, Yah? Anak-anak kelaparan nunggu kamu tuh.” Tanya Ibu kepada Ayah.

“Orang-orang udah pada gila. Dari kantor ke rumah bisa sampai 2,5 jam! Macetnya keterlaluan banget. Ckckck.” Keluh sang Ayah.

“Ah, biasa kali, Yah. Hujan seharian ditambah jalan rusak pasti bikin macet. Apalagi jam pulang kantor. Makanya keluar kantor tuh sebelum jam 4 sore.” Ucap Indra dan Indri kompak.

“Hush. Dasar kalian. Ayah lagi capek malah digodain. Harusnya Ayah pulang tuh kalian sambut. Indra pijat pundak, Indri pijat kaki Ayah.” Ayah balas menggoda.

“Ah, nanti aja deh beres makan. Aku laper nih.” Adik kakak itu kembali bicara berbarengan.

“Tuh, kan. Kebiasaan deh kalian kalau disuruh sama orang tua pasti suka menunda. Ya, sudah. Yuk, kita makan. Perut Ayah juga udah mulai keroncongan. Masak apa Bu hari ini?”

“Ayam goreng dan sambal goreng kentang, Yah.” Ibu berkata sambil menyiapkan meja makan.

“Ah, lagi-lagi makan itu.” Ucap Ayah, Indra, dan Indri dalam hati.


***
Beberapa hari kemudian di kantor Walikota..

“Siang, Pak. Barusan saya dapat kabar, katanya ada segerombolan demonstran di depan kantor kita, Pak.” Aku melapor kepada bapak walikota.

“Oh iya? Ada apa lagi mereka?” Tanya walikota dengan santai.

“Itu, Pak. Mereka meminta harga sembako diturunkan. Terus agar jalan yang rusak segera diperbaiki, terutama yang sering menjadi titik banjir, Pak. Apa mereka harus saya bubarkan?”

“Ah, itu kan sudah biasa. Diamkan saja mereka, nanti juga pada bosan. Sudah sana kembali ke ruanganmu.” Ucap walikota tenang.

“Euh, tapi, Pak..”

“Sudah, gak ada tapi. Lebih baik kamu suruh si OB yang baru itu, siapa namanya, Dani ya? Ya, suruh Dani membuatkan saya kopi.”

“Ba.. Baik, Pak. Saya permisi dulu.” Kataku seraya meninggalkan ruangannya.

"Kenapa lagi tuh si Pak Bos?" Sekretarisnya bertanya padaku.

"Ah, biasa.." jawabku. Aku pun kembali ke ruanganku.


Quote :


"Our very survival depends on our ability to stay awake, to adjust to new ideas, to remain vigilant and to face the challenge of change." ~ Martin Luther King Jr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar