“Laras.. Kamu yakin dengan ini?”
“Lho? Kok kamu nanya kayak gitu, Ron? Kalau aku gak yakin buat apa aku minta kamu datang ke kamarku.” Laras berusaha meyakinkan.
“Euh, tapi.. Kita belum lama kenal. Lagipula biar bagaimana pun kamu itu masih tamu aku, Ras. Kamu yakin dengan ini?” Roni kembali bertanya.
“Ya, aku yakin. Sudah jangan banyak tanya. Cepat buka celanamu.”
Roni tak dapat berpikir jernih. Semua ini serba mendadak dan begitu membingungkan. Terdiam.
Memorinya mundur ke enam hari yang lalu.
***
25 Oktober 2010
Sore itu begitu hectic. Polusi suara dari kemacetan di daerah Salemba menembus dinding kaca pintu lobby Hotel Amalia. Tamu-tamu yang berdatangan pun tak kunjung henti. Mulai dari keluarga yang membawa bayi dan anak-anak kecil yang berisik, sampai tamu penting yang selalu disambut dan dilayani oleh para butler. Seorang karyawan yang bekerja di front office terlihat kesulitan bernapas melayani para tamu.
“Haaahhh.. Akhirnya aku bisa bernapas! Banyak banget sih tamu hari ini? Gak biasanya weekday sepenuh ini.” Teriak Roni kepada dirinya sendiri.
Roni memang belum lama bekerja di Hotel Amalia. Tak sampai sebulan sejak kelulusannya di sebuah sekolah pariwisata ternama di Bandung, dia langsung diterima bekerja di hotel itu. Oleh karena itu Roni seringkali berbicara sendiri, belum punya banyak teman. Peringainya pun sedikit aneh. Dia senang melakukan apa pun yang menurutnya menyenangkan, meskipun itu melanggar aturan. Kelebihannya adalah badannya yang atletis dan wajahnya yang tampan.
“Wuidih. Siapa tuh?” Roni kembali bermonolog. Matanya tertuju pada seorang wanita cantik di depan pintu lobby hotel.
Gaun merah ngejreng membalut tubuh molek wanita itu. Sepatu hak membuat dirinya menjadi tinggi semampai. Di bagian kepala dihiasi oleh topi anyaman dan sebuah kacamata hitam. Agak sedikit aneh memang untuk digunakan dalam cuaca panas saat itu. Tangannya membawa sebuah koper kecil yang diseret. Cara berjalannya yang bagaikan model menandakan bahwa dia adalah seorang wanita sangat berkelas. Dia berjalan menghampiri Roni.
“Selamat sore, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Sapa Roni ramah.
“Saya mau ambil kunci kamar.” Jawab wanita itu dingin.
“Kamarnya nomor berapa ya, Bu? Atau saya panggil Mbak? Kelihatannya masih sangat muda.” Tanya Roni sambil berusaha menggoda wanita itu.
“Kamar 13266.” Jawab wanita itu datar.
“13266? Gak salah, Bu? Eh, Mbak? Seingat saya tidak ada nomor kamar itu di hotel kami.” Kata Roni sembari mencari kunci kamar baik yang ada di laci maupun yang tergantung di dinding.
“Itu. Tergantung di dinding paling atas.” Nada dingin kembali dilontarkan wanita itu. Jarinya yang menunjuk sebuah kunci yang menggantung menggambarkan keangkuhannya.
“Oh, iya. Biar saya ambilkan dulu ya, Bu. Eh, Mbak.” Roni masih berusaha menggodanya. Wanita itu diam saja.
“Silakan ini kuncinya. Sebentar saya panggilkan dulu bellboy untuk membawakan barang bawaan Ibu ke kamar.” Roni berhenti menggodanya setelah mengetahui bahwa usahanya itu sia-sia.
Wanita itu mendekatkan wajahnya ke dada Roni. Roni merasa di balik kacamatanya tatapannya tertuju pada pin nama yang menempel di dada Roni. Lalu dia berkata, “Roni, ya? Saya ingin kamu yang membawakan koper saya. Sekarang. Saya tunggu di depan lift.” Kata wanita itu.
“Eh, tapi, Bu..” Roni mencoba berkelit. Namun wanita itu keburu membalikkan badannya dan berjalan ke arah lift. Terpaksa Roni mengikutinya. Sekarang mereka berada di dalam lift yang sama. Cuma ada mereka berdua di dalam lift tersebut. Lift pun mulai bekerja melawan hukum gravitasi bumi, membawa mereka ke lantai tujuan.
“Sendirian saja, Bu?” Roni berusaha mencairkan suasana.
“Sudah. Jangan panggil saya Mbak-Bu, Mbak-Bu. Saya terdengar seperti pembantu. Panggil saja Laras.” Wanita itu menjawab dengan ramah. Roni menjadi bingung sendiri mendengar nada ramah yang keluar dari mulut wanita itu.
“I.. Iya, Mbak Laras.” Jawab Roni dengan gugup.
“Laras saja, Ron.” Akhirnya mereka sampai di lantai tujuan. Indikator lift menunjukkan angka 13. Begitu pintu lift terbuka, terlihat cahaya yang masuk melalui jendela di sebelah kanan. Mereka berjalan di atas karpet merah dengan motif bunga tulip lalu melintasi meja kayu yang dihiasi satu vas bunga cantik di atasnya.
Pemandangan itu sudah sangat biasa bagi Roni, meskipun dia baru beberapa bulan bekerja di hotel itu. Sebelumnya dia sempat bekerja sebagai butler yang melayani tamu-tamu VIP Hotel Amalia. Namun, Roni menyadari ada yang sedikit berbeda di sana. Udara dingin terasa lebih menusuk. Cahaya lampu pun agaknya lebih redup dari biasanya. Belum lagi suasananya lebih mencekam dan lebih sepi dari biasanya.
“Oke, Laras. Kita sudah sampai di kamarmu.” Roni memecah kebisuan di antara mereka sejak keluar dari lift.
“Nah, gitu dong. Umur kita kan gak beda jauh. Terima kasih ya, Ron.” Jawab Laras.
“Hehehe. Iya, Laras. Sama-sama. Ada lagi yang bisa saya bantu? Membawakan koper ke dalam kamarmu mungkin.” Tanya Roni sok akrab.
“Hmm, Apa ya? Boleh aku minta nomor ponselmu? Siapa tahu nanti aku butuh sesuatu.”
“Euh, nomor ponsel? Bo.. Boleh.” Roni membacakan nomor ponselnya dengan gugup. Dia bingung. Belum pernah ada tamu yang meminta nomor ponselnya selama ini.
“Oke, udah aku save. Nanti kalo aku butuh sesuatu, aku tinggal kontak kamu aja ya, Ron. Sudah dulu ya. Aku capek. Pengen mandi terus rebahan deh. Makasih ya Roni.” Laras berkata sambil tersenyum manis.
“O.. Oke, Laras. Se.. Selamat beristirahat.” Roni semakin gugup dengan sikap Laras yang berubah total menjadi ramah dan akrab. “Saya permisi dulu kalau begitu.” Roni pun berjalan meninggalkan Laras.
***
Malam harinya..
Malam sudah larut. Pergantian shift jaga sudah dilakukan. Roni berada di ruang loker. “Siapa nih?” Tanya Roni kepada cermin di lokernya. “Laras?” Dia kaget melihat ada tiga missed call setiap selang 60 menit dan dua SMS dari nomor tak dikenal.
Inbox (2)
From : +628166600666
25 Oktober 2010 ; 20:01:03
Hi, Ron. Ini aku, Laras. Bisa tolong ke kamarku sekarang?
25 Oktober 2010 ; 23:10:00
Ron, masih sibuk? Barusan aku telepon kamu 3 kali. Aku lupa, biasanya kalo lagi kerja gak boleh bawa ponsel ya? Telepon aku ya kalo udah santai. Ini nomorku, jangan lupa disave ya, Ron. :)
Antara senang dan bingung Roni membaca SMS yang dikirim oleh Laras. Sudah lama tak ada wanita yang mencarinya seperti ini. Pakai emoticon senyum pula. Dia mondar-mandir di depan lokernya. Tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Sudah hampir jam 2 pagi. Sopan gak ya kalau aku meneleponya sekarang? Nanti dikira gak sopan. Tapi Laras sendiri yang memintaku untuk meneleponnya kalau aku sudah beres kerja. Aduuuh… Gimana iniii...!?!” Terjadi pergelutan antara Id dan Superego Roni.
Di satu sisi Roni diminta oleh Laras untuk meneleponnya, dan memang itu keinginan Roni. Di sisi lain malam sudah sangat larut. Sangat tidak sopan menelepon tamu di jam seperti itu. Langkah Roni terhenti. Dia menatap dirinya di cermin. Akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Laras. Setelah tiga nada sambung terdengar suara perempuan di seberang sana. Suara yang serak. Tetapi Roni menangkapnya sebagai suara paling seksi yang pernah dia dengar.
“Hi, Ron. Kok malam amat sih neleponnya? Hampir saja aku ketiduran nunggu telepon dari kamu.” Sapa Laras.
“Iya nih. Aku baru beres kerja jam 12 lebih. Terus tadi beres-beres dulu. Mandi dulu. Baru sekarang deh aku lihat ponsel lagi.
Tadi ada apa nelepon aku, Ras?” Bingung harus berkata apa. Roni merasa sangat aneh dengan sikap tamunya itu.
“Iya, tadinya aku mau minta ditemenin makan malam di kamarku. Aku kan tidur di sini sendirian.” Jawab Laras mesra.
“Oh, gitu. Maaf ya, Ras. Waktu kamu nelepon aku masih jaga.”
“Iya, gak apa-apa, kok. Sebagai gantinya, besok siang kamu temani aku makan siang ya. Jam 1 siang di kamarku. Menunya roasted duck dan buncis stze tjuan. Jam 1 ya. Kamu saja yang bawa makanannya ke kamarku. Oke? Ditunggu lho ya. Awas nanti kalo kamu gak dateng aku aduin ke manajer kamu karena gak mau melayani tamu. Sudah ya, aku tidur dulu. Aku capek nungguin telepon dari kamu. Tapi aku senang udah denger suara kamu. Jadi aku bisa tidur nyenyak malam ini. Malam, Ron. Selamat istirahat.” Laras menyerang membabi buta dengan rentetan kata-kata. Tak memberi celah untuk Roni membalas perkataannya.
“Oke, Laras.” Belum sempat membalas, panggilan sudah terputus. Roni tersenyum sumringah. Tetapi kepalanya berputar. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi?” Pikirnya.
***
Keesokan siangnya Roni memenuhi permintaan Laras. Gerobak makanan berisi roasted duck dan buncis sze tjuan ditambah beberapa minuman didorong oleh Roni masuk ke kamar Laras.
“Halo, Roniii..” Sapa Laras dengan riang dari dalam kamar. Sebuah kamar deluxe dengan king size spring bed. Bed cover berwarna merah marun menutupi ranjang itu. Menempel sebuah lukisan bergambar wanita sedang menari tarian Bali di atas dinding ranjang itu. Tirai abu yang menghalangi cahaya masuk ke dalam kamar. Tirai itu bergerak seperti tertiup angin dari luar kamar. TV Flat screen didiamkan menyala di saluran telenovela lawas. Koper tersimpan di atas rak sepatu dalam keadaan tertutup. Lemari pakaian yang terbuka pun tak terlihat ada isinya. Tak ada jejak air yang tersisa di kamar mandi yang pintunya terbuka. Dan, Laras masih mengenakan gaun merah yang Roni ingat.
“Hi, Laras. Ini pesananmu.” Jawab Roni. Di saat yang bersamaan Roni berkata dalam hati. “Kamar dan orang yang aneh.”
Hampir dua jam mereka habiskan di dalam kamar itu. Mulai dari mencicipi hidangan sampai ngobrol ngalor ngidul. Mereka menemukan kesamaan dalam hobi dan sifat. Jika mereka pacaran atau menikah mungkin menjadi pasangan yang serasi. Terbawa suasana, mereka akhirnya berciuman.
Sejak itu hubungan mereka menjadi semakin intens. Mulai dari SMS, ngobrol di telepon selama berjam-jam, sampai makan malam bersama di kamar Laras. Roni sering mendapat teguran dari manajernya gara-gara tertangkap basah menggunakan ponsel pada jam kerja. Tapi Roni tak peduli.
Dia tidak sedang menelepon, atau pun main SMS, dia cuma membaca SMS dari Laras yang disimpannya dalam folder khusus di ponselnya. Di kepalanya sekarang cuma ada Laras. Roni mulai berpikir untuk membawa hubungan mereka lebih jauh dari sekedar ini. Pacaran, atau bahkan menikah. Sampai akhirnya malam itu pun tiba.
***
31 Oktober 2010
Roni baru saja sampai di tempat kerjanya. Dia sedang berbenah di ruang loker. Tak lama kemudian ponselnya berbunyi. Ada SMS dari Laras.
Inbox (1)
31 Oktober 2010 ; 15:00:00
Sayang., ini malam terakhirku di hotel. Datang ya ke kamarku tepat pukul 21:30, tak kurang dan tak lebih. Aku punya kejutan untukmu. Kita akan melakukan ‘permainan terhebat sepanjang masa’. Aku tak mau mendengar alasan kamu gak bisa datang. Oke, sayangku? Sekali lagi, DATANG TEPAT WAKTU. TAK KURANG DAN TAK LEBIH. See you later, Ron. :)
“Kenapa nih si Laras. Kok kayaknya serius amat. Pake huruf kapital segala.” Roni mengernyitka dahinya. Lalu dia membalas SMS itu singkat. Tapi rasa penasaran Roni begitu menggebu.
Oke, Larasku sayang.. Nanti aku pasti dateng kok. Aku kerja dulu ya. Bye. :)
“Oke, gini aja kali ya.” Ucap Roni dalam hati sembari menekan tombol send.
Waktu terasa begitu lama. Roni sudah tak sabar menantikan kejutan apa yang akan Laras berikan. Dirinya sudah berencana untuk ijin pulang duluan. Dia meminta tolong kepada salah seorang kenalannya di Hotel Amalia.
“Sial. Udah jam Sembilan nih. Si Roy ke mana sih? Gua suruh dia stand-by dari jam Sembilan kurang juga. Dasar tukang ngaret.” Roni menggerutu. Dia gelisah karena waktu sudah semakin mepet. Tak lama Roy pun datang.
“Roy! Sini cepetan!” Roni berbisik sekeras mungkin kepada Roy di balik pintu front office. Menghindari kecurigaan dari orang-orang di sekitar Lobby.
“Ada apaan sih, Ron? Heboh amat deh lo hari ini.”
“Hehehe. Gue ada perlu nih, Bro. Lo gantiin gue ya dari sekarang. Sesuai perjanjian, nanti lo gue traktir makan siang tiga kali!” Kata Roni riang.
“Iya, bawel. Tapi ada apa sih emang?” Roy penasaran.
“Rahasia ya, Bro. Gue diundang sama tamu hotel ke kamarnya. Kamar 13266. Hehehe.” Bisik Roni.
“Hah? 13266? Emangnya ada ya kamar itu?” Tanya Roy bingung.
“Ssssst.. Kenceng amat suara lo! Kecilin dikit napa tuh suara? Ada kali Roy. Kamarnya di lantai 13. Tamunya cewek seksoy yang hampir seminggu lalu dateng pake gaun merah gitu. Masak sih lo yang udah lama kerja di sini kagak tau?”
“Tau ah gelap.. Have fun aja deh buat lo. Awas taunya cewek itu setan! Hahaha.” Goda Roy.
“Kampret! Berisik lo ah. Udah ya, gantiin gue ya. Gue udah telat nih. Timingnya harus pas banget soalnya. Gue cabut dulu oke, Bro. Thanks a lot!” Roni pun pergi meninggalkan Roy. Sementara Roy meninggalkan kebingungannya akan sikap temannya. Roy mulai berjaga di depan front office.
***
21:30 di lantai 13..
Roni sudah siap di depan kamar 13266 dengan setelan terbaiknya. Tuksedo berwarna hitam dengan bahan Armani palsu yang dibelinya di Mangga Dua. Bunga mawar merah menghiasi saku jasnya, sementara dasi kupu-kupu terikat di lehernya. Dia pun menekan bel kamar itu.
“Hi, darling. Are you ready?” Laras membuka pintu kamarnya. Tubuhnya yang montok hanya berbalut lingerie tipis berwarna merah. Siapa pun yang melihatnya malam itu pasti ingin menidurinya. Penerangan di dalam kamar lebih redup dari hari biasanya. Dia menarik Roni masuk ke dalam kamar.
“Aku udah siap. Emangnya kita mau ngapain sih?” Roni bertanya polos.
“We’re going to have sex, baby. Aku tahu dari pertama kamu lihat aku kamu menginginkan tubuhku. Bukan begitu, sayangku?” Laras menggoda Roni dengan dahsyatnya. Ruangan sunyi itu terdengar detak jantung Roni yang menderu sangat kencang. Roni terlihat sedikit ragu dengan tawaran menggiurkan ini.
“Laras.. Kamu yakin dengan ini?”
“Lho? Kok kamu nanya kayak gitu, Ron? Kalau aku gak yakin buat apa aku minta kamu datang ke kamarku.” Laras berusaha meyakinkan.
“Euh, tapi.. Kita belum lama kenal. Lagipula biar bagaimana pun kamu itu masih tamu aku, Ras. Kamu yakin dengan ini?” Roni kembali bertanya.
“Ya, aku yakin. Sudah jangan banyak tanya. Cepat buka celanamu.”
Roni tak dapat berpikir jernih. Semua ini serba mendadak dan begitu membingungkan. Terdiam.
“Ayo, tunggu apalagi sih kamu? Aku udah horny nih..” Laras mendorong Roni ke atas ranjang. Mereka mulai berciuman. Ranjang pun mulai berderit. Tak lama terdengar suara erangan dan rintihan dari kamar itu. Diakhiri oleh suara teriakan yang panjang. Lukisan wanita penari Bali menjadi saksi bisu perbuatan mereka. Malam itu mereka melakukan ‘permainan terhebat sepanjang masa’ hingga terlelap.
***
Keesokan paginya..
Suara gaduh di kamar sebelah membangunkan Roni dari tidurnya. Masih di dalam kamarnya, pikirannya masih melayang. Semalam adalah pengalaman terhebat selama hidupnya. Dia belum pernah merasakan gairah sekuat itu. Tetapi ada sesuatu yang hilang dari kamar itu. Laras telah pergi. Entah sedari kapan. Laras meninggalkan Roni tanpa sepatah kata setelah apa yang mereka perbuat semalam.
Roni segera mengenakan pakaian seadanya, lalu keluar dari kamar itu. Terlihat nomor kamar yang menempel di pintu. “14266? Gila. Efek semalem masih ada sampe sekarang.” Kata Roni sembari berjalan ke arah lift.
Roni memperhatikan keadaan sekitar sambil menunggu lift terbuka. “Berisik banget sih pagi ini? Biasanya lantai ini kan selalu sepi.” Kata Roni dalam hati ketika melihat anak-anak kecil saling berkejaran, petugas room service yang sedang membersihkan kamar sebelah. Dan beberapa tamu hotel yang sedang bercakap-cakap.
Akhirnya lift itu sampai di lantai Roni berada. Indikator menunjukkan angka 14. “14? Ini kan seharusnya lantai 13. Rusak kali ya ini lift?” Roni menggunyam. Dia pun melangkah masuk ke dalam lift. Beberapa tamu ikut masuk ke dalam lift itu.
“Lantai berapa, Mas?” Tanya Roni kepada para tamu.
“Ke lobby, Mas.” Seorang pria berkacamata menjawab. Roni pun menekan huruf L.
“Aku mau main ke kamar saudaraku, kak. Tolong ya ke lantai 7.” Kali ini seorang anak kecil menjawab. Angka 7 ditekan oleh Roni.
“Tolong ke lantai 12, Mas. Terima kasih.” Kata seorang ibu cantik. Roni menekan angka 12, lift pun turun mengikuti gravitasi bumi. Roni. menyadari ada yang sedikit janggal dari urutan lift itu. Angka 14 di indikator langsung loncat ke angka 12.
“Lho? 13 ke mana? Kok gak ada?” Tanya Roni dalam hati. Matanya spontan melacak tombol deretan angka di dalam lift. Dia tidak dapat menemukan angka 13 di sana. Pikiran negatif mulai merasuki kepalanya. Terutama kata-kata Roy sesaat sebelum
Roni meninggalkannya untuk bertemu Laras.
Sesampainya di Lobby. Roni berlari ke ruang janitor untuk menemui Pak Wardiman. Petugas kebersihan Hotel Amalia yang sudah bekerja di sana selama puluhan tahun.
“Pak Wardiman!” Teriak Roni.
“Eh, ada nak Roni. Tumben kamu ke sini. Ada apa?” Seorang pria paruh baya menyambut Roni dengan ramah.
“Aku mengalami kejadian aneh nih, Pak. Aku mau tanya. Sebenarnya di hotel ini ada lantai 13 gak sih? Terus kalau kamar 13266 itu ada atau nggak?” Roni tak dapat menyembunyikan kepanikannya.
“Lantai 13? Kamar 13266? Waduh. Pasti nak Roni selama enam hari kemarin digodain sama non Laras ya?”
“Iya, Pak. Bapak kok tahu Laras? Dia itu siapa Pak sebenarnya? Semalam aku tidur bareng dia di kamar 13266 lantai 13. Tapi pagi ini dia tiba-tiba hilang tanpa kabar. Terus barusan aku turun dari lift kok gak ada angka 13 di deretan tombolnya ya Pak? Bingung aku.” Roni menjelaskan kejadian yang baru saja dialaminya.
“Aih, jadi kamu toh korban non Laras tahun ini. Aku kasih tahu kamu nih nak Roni. Non Laras itu sudah meninggal. Sudah dari 18 tahun lalu.”
Petir seakan menyambar tubuh Roni. Wajahnya mendadak pucat pasi. Lidahnya kelu. Tetapi dia tetap memaksakan diri untuk berbicara. “Ma.. Maksud Bapak gimana? Sudah meninggal? Gak mungkin ah Pak. Jangan bercanda yang gak lucu ah.”
“Aku ndak bercanda kok nak Roni. Non Laras itu sudah meninggal. Dia terjun dari lantai 13. Nomor kamarnya 13266. Kejadiannya itu tanggal 31 Oktober 1992. Jadi, non Laras situ bunuh diri gara-gara suaminya selingkuh. Nah, terus dia nginep di hotel ini selama 6 hari. Setiap harinya non Laras selalu membawa lelaki yang berbeda. Kalau dihitung totalnya ada 6 orang jumlahnya.” Jelas Pak Wardiman.
“Te.. Teruskan ceritanya, Pak.” Roni tak percaya dirinya meminta Pak Wardiman meneruskan cerita tentang non Laras. Bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya dibasahi oleh keringat dingin.
“Iya, Jadi non Laras nginep dari tanggal 25-31 Oktober 1992. Nah, malam terakhirnya itu dia terjun dari jendela kamar 13266. Sekarang sih kamarnya masih ada, tapi jadi 14266. Angka 13 di lift juga sengaja diloncat langsung ke angka 14. Soalnya kata orang pinter angka itu bawa sial.”
Roni diam mendengarkan. Mukanya kini seputih kertas kosong. Sementara Pak Wardiman keasyikan bercerita.
“Ini bukan pertama kalinya terjadi kok. Setiap 6 tahun sekali non Laras pasti datang ke hotel ini mencari pria muda. Selain itu, kalau diperhatikan pasti ada petunjuk yang berbau angka 6. Nomor kamarnya kalo dijumlah jadi 666. Non Laras tidur dengan 6 Pria. Biasanya waktu dia menghubungi para lelakinya pasti ada unsur 6. 12 tahun lalu yang mengalami kejadian ini adalah seorang pengusaha muda. 6 tahun lalu ada seorang pemuda tampan, atlet kalo saya nggak salah. Nah, tahun ini mungkin giliran nak Roni. Sudah ya nak Roni. Bapak harus bekerja dulu. Sering-sering main ke ruangan Bapak ya.”
Sekali lagi petir seakan menyambar tubuh Roni. Dia tak menjawab Pak Wardiman. Dirinya terguncang mendengar cerita Pak Wardiman. Masih setengah percaya. Roni merogoh sakunya. Jarinya dengan cepat mencari nama Laras di kontak teleponnya. Tidak ada seorang pun yang bernama Laras. Dia meluncur ke inbox, memeriksa folder SMS atas nama Laras. Tak ada satu pun folder khusus. Roni diam membeku. Dan hujan pun turun membasahi bumi.
widiiiih ngeri ngeri sem, bagus nih ceritanya... harusnya scene permainan terhebat itu diceritakan secara detail, kan seru tuh, hahahaha,,,
BalasHapusCoba-coba cerita misteri nih :) Good job.
BalasHapusInput:, supaya lebih real, kamar hotel biasanya yyxx, yy laintai xx nomor kamar, 13266, terlalu banyak jumlah kamar dalam satu lantai.