About Me

Foto saya
I play at everybody's mind. I live in everybody's heart.

Jumat, 10 September 2010

MALAIKAT PENCABUT NYAWA (II)

5 tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Nindya keluar dari kamarnya, mengeluarkan pemantik lalu membakar rokoknya. Asap putih kini menghiasi malam legam itu. Kemudian dia menghela napas.

“Haaaaaahhh.. Apa kabarmu wahai sahabat? Aku merindukanmu di sini.” Tanya Nindya kepada sang bintang sambil menghembuskan asap rokoknya.

Pernikahannya dengan Joshua tak berjalan lancar. Lelaki yang dia pikir akan menemaninya hingga akhir hayat pergi meninggalkannya. Karena uang, dan tentu wanita lain. Sekelebat bayangan merasuki khayalnya. Pikirannya melaju, menembus batas waktu, 5 tahun lalu di sebuah café bernama Kopi Jago.

“Jadi? Gimana? Kamu mau kan membawakan cincin ini di hari pernikahanku, Dy?” Tanya Nindya kepadaku.

Aku tersenyum. Kecut. Emosiku terkuras. Energiku habis menahan tangis.

“Nindya, tak tahukah kamu akan perasaanku selama ini? Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu.” Aku memberanikan diri berbicara.

Nindya tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Wajahnya berkata demikian. Membisu. Sambil tetap memperhatikanku.

Aku melanjutkan, “Wajahmu ketika menggunakan bedak menor ala Jeng Kelin dan rambut yang dihiasi pita merah itu serta tingkah laku konyolmu mencuri hatiku. Ya, sudah sedari dulu, semenjak kita pertama bertemu, aku mencintaimu.”

Matanya mulai berkaca-kaca. Dia memberanikan diri membuka mulut, “Are you serious, Dy? You’re kidding me, right?” Tanya Nindya dengan ragu.

“Do I look like was joking? I mean it. Ever since I met you that day. I just know that you’re my angel. My diary. My heart, my love, and my life.”

Nindya tak dapat menahan tangisnya. Matanya memerah. Air mata membasahi wajahnya sambil menatap wajahku seakan tak percaya.

“I’m sorry, Dy. I never realized that you have a special feeling for me. I’m so sorry.” Suara merdunya menjadi parau. Tangannya menggenggam erat tanganku, seakan tahu bahwa dia akan kehilanganku.

“It’s okay. It was my fault. I just didn’t brave enough to tell you the truth. Now, you know my answer.” Ucapku sembari mengembalikan kotak cincin itu kepadanya. Aku tak dapat menahan tangis. Air mataku pun mengalir di pipiku.

“I guess this is goodbye, then.” Lanjutku sambil berdiri mengikuti keegoisanku, siap untuk meninggalkannya. Aku mulai melangkahkan kaki, menolehkan kepala melihat wajahnya untuk terakhir kalinya, “Goodbye, Nindya. I want you to know that you will always be my angel.”

Emosi Nindya membuncah tak terbendung. Dia menangis tak keruan. Lemas. Hanya mampu melihat punggungku yang semakin meninggalkannya.

Disadarkan oleh air mata yang mengalir di pipinya. “Aku harap kamu baik-baik saja di sana, Dy. Aku akan selalu menjadi malaikatmu.” Ucap Nindya kepada sang bintang seraya mematikan rokoknya lalu masuk ke dalam kamar.

***

Aku berada di puncak karierku. Aku punya segalanya. Mulai dari koleksi perangko yang kukumpulkan sejak bangku SMP, sampai rumah gedong dan mobil mewah yang terparkir di halaman. Hanya satu yang tak kupunya, yaitu seseorang untuk kubagi. Aku kesepian.

Aku berbaring di kamar. Menatap langit-langit sambil memainkan ponselku. Berulang kali jariku menekan tombol ‘call’, nama Nindya pun terpampang di layar ponselku. Namun, jemariku yang lain memberontak menekan tombol ‘cancel’. Berulang kali aku melakukannya hingga akhirnya terlelap.

Keesokan harinya aku kaget. Ada satu ‘missed call’ di ponselku. Nindya meneleponku semalam, tapi aku keburu tidur.

“Ah, apakah ini mimpi?” Tanyaku dalam hati. Aku mengucek mataku. Sekali lagi kulihat ternyata memang Nindya meneleponku jam 2 pagi. “Ada apa ya? Apakah dia tertimpa musibah?”

Setelah kejadian itu kontak kami benar-benar terputus. Pada hari pernikahannya pun aku tak mau datang. Aku terlalu pengecut untuk melihat dia bersama lelaki lain.

Asaku tak keruan. Penasaran, bercampur dengan rasa rindu yang tak terbendung sekaligus khawatir jika dia membutuhkan sesuatu dariku. Akhirnya aku meneleponnya balik.

Panggilan pertama gagal. Nada sambung sebanyak 5 kali tak menghasilkan apa pun. Aku mencoba meneleponnya sekali lagi. Kali ini setelah 10 kali nada sambung hasilnya pun tetap sama. Aku mulai merasa kecewa. Tetapi aku tak menyerah, aku mencoba sekali lagi, untuk terakhir kalinya.

Satu nada sambung. Dua nada sambung. Tiii.. “Halo.. Siapa ini?” Suara sang malaikat terdengar di seberang sana. Sedikit serak, namun tetap merdu. Suara yang kurindukan. Itu adalah kebahagiaan yang paling indah yang pernah kurasakan selama 5 tahun terakhir ini. Aku merasa hidup.

“Hi, baru bangun ya? Pasti ini ngomongnya masih sambil merem? It’s me.”

“Aldy? I.. Ini be.. benar-benar kamu? A.. Aldy?” Nindya ragu, antara alam mimpi dan realita, dirinya masih setengah sadar. Entah setengah berharap.

“Yes, it’s me, Aldy. How are you, angel? It’s been a while.”

Isak tangis terdengar di balik ponsel. “I miss you damn much, Dy. Bisakah kita bertemu?” Nindya melanjutkan dengan suara paraunya, tetapi tetap masih merdu terdengar di telingaku. Setelah menyebutkan tempat dan waktu pertemuan, percakapan itu berakhir. Singkat. Tapi penuh makna.

***

Akhirnya kami bertemu. Setelah perpisahan dan penantian yang terasa seperti seumur hidup. Satu hari terasa seperti satu jam saja. Aku bercerita banyak tentang kehidupanku tanpa dirinya. Tentang kisah suksesku hingga menjadi seperti sekarang ini, sedangkan Nindya menceritakan bagaimana Joshua memperlakukan dia selama menikah, dan bagaimana wanita lain merenggutnya dari dirinya, sampai Joshua menceraikannya 1,5 tahun yang lalu. Tragis.

Sejak saat itu aku dan Nindya hampir setiap hari bertemu. Rindu ini seakan tak terobati. Terlalu banyak waktu yang kulewatkan tanpa kehadirannya. Aku masih mencintainya. Hingga saat ini. Kupikir inilah saatnya jika aku ingin memilikinya.

“Nindya, these past five years was the toughest point of my life. I need you beside me. And I want to spend the rest of my life with you. Would you.. Marry me?”

Nindya tersenyum. “Oh, yes I would, Dy. You’re the risk I’ll always take. I’m enjoying my life whenever I’m with you.” Spontan memelukku dengan sangat kencang sampai aku sulit bernapas. Aku tak dapat melupakan senyum dan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya saat itu.

Keesokan harinya kami pergi kencan untuk membeli cincin pernikahan. “Ah, ini akan menjadi hari yang membahagiakan.” Aku mengkhayal sepanjang perjalanan menuju kediaman Nindya. Aku tak dapat berhenti tersenyum.

“Halo, Ay. Jadi.. Akan ke mana kita hari ini?” Sapa Nindya dengan riangnya. Senyumku semakin lebar mendengarnya memberiku panggilan baru.

“Ra.. ha.. si.. a..” Aku menggodanya.

“Iiih, kamu gitu deeeh..” Ucapnya genit sambil mencubit lenganku. “Tapi, kalo sama kamu sih aku mau dibawa ke mana aja, Ay..” Nindya balik menggodaku.

“Hahaha. Bisa aja kamu. Udah siap, kan? Yuk, kita berangkat.” Mobilku pun melaju menuju sebuah toko perhiasan tempat ayahku membelikan ibuku cincin pernikahan mereka. Sang peri cinta menebarkan benihnya sepanjang perjalanan.

“So, here we are, angel.” Ucapku seraya memarkirkan mobil di seberang toko emas Anugerah. Nindya tersenyum. Kami keluar dari mobil lalu masuk ke dalam toko itu.

“Selamat siang, Mas, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Sapa pelayan toko itu ramah.

“Siang. Kita lagi nyari cincin nih, Mbak.” Kata kami dengan kompak.

“Oh, ini, Mas, Mbak. Kebetulan ada barang yang baru datang tadi malam. Cincin berlian 12 karat, harganya gak terlalu mahal,
kok. Cuma 12 juta.” Sang pelayan mulai mengeluarkan jurus marketingnya pada kami. Lalu Nindya mencoba cincin itu.

“Kok gue kelihatan jadi kayak emak-emak, yak? Gede banget ini berliannya! Hahaha.” Canda Nindya, aku dan si pelayan pun tak dapat menahan tawa.

“Ya sudah, mbak. Kita lihat-lihat cincin yang lain dulu ya.” Kataku dengan ramah.

Cincin demi cincin Dia coba satu persatu dengan berbagai gaya. Mulai dari cincin batu giok yang diperagakannya ala penyihir lawas, sampai cincin yang berliannya super besar bak tumor ganas yang menyerang bagian jari yang diperagakannya ala wanita keturunan bangsawan. Aku tak dapat berhenti tertawa. Kekonyolan Nindya memang selalu berhasil membuatku terpingkal. Satu hal darinya yang jarang kutemui dari wanita lain.

Akhirnya perhatian Nindya tercuri oleh benda kecil yang berada di rak belakang si pelayan. “Mbak, bisa tolong lihat yang itu? Iya, yang itu. Yang ada di rak atas belakang Mbak.”

Cincin emas bertahtakan empat permata kecil di dalamnya. Seketika Nindya jatuh cinta pada cincin itu. Dalam bayangannya, empat permata di atasnya melambangkan empat huruf yang selalu abadi, yaitu ‘L’, ‘O’, ‘V’, dan ‘E’.

“Aha! Ini dia! Ay, ini aja ya cincinnya? Nanti tinggal kita ukir aja nama kita masing-masing di cincinnya? Aldy & Nindya. Gimana, Ay?” Tanya Nindya antusias.

“Kamu yakin? Permatanya kecil gitu. Kamu gak mau yang lebih gedean dikit?”

“Gak ah, besar kan bukan berarti bagus. Lagian aku lebih suka yang sederhana seperti ini daripada nanti dikira emak-emak dari Hongkong. Hihihi.”

Senyumku tersungging lebar. Kesederhanaannya selalu menjadi senjata yang dapat menaklukkan hatiku. Di saat wanita lain mengajak di restoran mahal, Nindya selalu mengajakku kencan di tenda pinggiran. Padahal dia berasal dari keluarga berada. Ya, memang sudah sifatnya seperti itu. Lalu aku mengganggukkan kepalaku tanda setuju.

“Asyik! Bener ya? Udah cup ya? Gak bisa ganti cincin lagi pokoknya mah. Hahaha.” Nindya tertawa dengan polosnya.

“Iya, iyaaa. Bawel amat sih. Ya udah, mbak. Jadinya yang ini aja ya. Jangan lupa nanti di belakangnya diukir nama Aldy di cincin Mbak bawel ini” Ucapku pada pelayan sambil menunjuk Nindya, dia mencubit perutku lemah. “Terus, nama Nindya diukir di belakang cincin punya saya. Ngarti ora Mba’e?”

Si pelayan cekikan sambil menganggukkan kepalanya pertanda mengerti. Seakan takjub melihat kekonyolan kita berdua, dia berkata, “Siap, Mas. Besok lusa dijamin beres. Asalkan Mas beresin dulu tuh bayarnya di sono noh. Makasih banyak, Mas’e dan Mba’e. Semoga menjadi pasangan yang selalu bahagia sampai akhir hayat.” Doa pelayan itu terdengar tulus bagi kami. Kami meninggalkan toko itu dengan kebahagiaan.

***
2 hari kemudian…

Siang itu hujan turun deras. Aku sudah bilang supaya Nindya tetap berada di rumah saja karena dia lagi agak demam. Tetapi Nindya memaksakan diri. Dia tak sabar ingin melihat cincin pernikahan kita. Akhirnya kami menerabas jalanan di tengah hujan lebat.

“Ay, kamu tunggu di mobil aja ya. Hujannya gede banget. Nanti kamu makin parah demamnya kalo ikut turun. Aku cuma ngambil cincinnya doang terus ke sini lagi. Oke?” Kataku pada Nindya.

“Tapiii.. Aku pengen ikut turuuun..” Nindya merengek.

“Udaaah. Gak usah maksain diri. Beneran deh. Hujan gede banget soalnya. Kamu tunggu di mobil aja ya. Paling juga cuma 10 menit. Okay, angel?” Aku meyakinkan Nindya agar tetap di mobil. Dia mengangguk setuju. Lalu dia memperhatikanku turun dari mobil dan berlari kecil menuju toko Anugerah di seberang jalan.

Nindya mulai membayangkan akan seperti apa kehidupannya nanti. Sambil tetap memperhatikanku yang sudah sampai di depan pintu toko. Bayangannya menembus ke 5 tahun yang akan datang. Aku yang sedang bermain basket di halaman belakang rumah bersama seorang anak laki-laki, sedangkan dia membuatkanku kue dan minuman segar bersama seorang anak perempuan. “Ah, alangkah bahagianya jika semua itu menjadi nyata.” Nindya tersadar dari khayalnya sambil tetap melihat ke arah pintu toko. Akhirnya pintu itu terbuka. Muncul sosok pria yang disayanginya, calon suaminya, Aldy.

Hujan sudah mulai reda. Aku melambaikan tangan dari seberang sambil memamerkan dua buah kotak kecil. Nindya membuka kaca mobilnya, tak dapat menahan kebahagiaan dan rasa penasarannya. “Ayo, Ay! Cepetan bawa sini cincinnya! Aku penasaran banget!” Teriak Nindya padaku.

Aku pun berjalan kecil sambil sedikit menari riang di bawah rintik hujan. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson panjang menusuk telingaku. Aku menolehkan kepalaku. Sempat kulihat seberkas cahaya lampu mobil, tetapi aku tak punya waktu untuk menghindar.

“DUAK!!!” Mobil kijang berhasil menghantamku dan melarikan diri. Tubuhku terpelanting sejauh 10 meter. Kotak cincin terlepas dari genggamanku. Terbang ke atas langit. Aku dapat melihat kedua cincin itu keluar dari tempatnya, lalu jatuh dan tergeletak di jalan raya.

Kali ini aku melihat bayangan hitam datang menghampiri. Semakin dekat, hingga menembus tubuhku. Seakan disengat lebah, ternyata maut menjemputku. Aku dapat melihat tubuhku sendiri tersungkur di jalan. Berlumuran darah.

Nindya turun dari mobil. Mulutnya terlihat seperti sedang berteriak. Panik. Meminta pertolongan dari siapa pun. Tetapi tak ada suara yang kudengar. Nihil. Jalanan sedang kosong. Hujan kembali menghantam bumi dengan lebatnya. Air mata bersinergi dengan rinai hujan yang membasahi wajahnya sambil memeluk erat tubuhku.

Ingin rasanya aku mendekapnya. Ingin rasanya aku menenangkan dirinya. Tapi apa daya, aku telah tiada. Kali ini malaikat maut benar-benar datang menjemputku. Merenggut nyawaku. Memaksaku meninggalkan dirinya.

Ini adalah perpisahan kita. Untuk selamanya. Ya, selamanya.

Selamat tinggal Nindya.

Selamat tinggal malaikatku, cintaku, dan hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar