About Me

Foto saya
I play at everybody's mind. I live in everybody's heart.

Kamis, 09 September 2010

SURAT UNTUK LEBARAN

Yang kurindukan adalah ketika kemacetan menjadi satu tradisi.
Di balik kaca mobil saling menebarkan senyuman, senyum kemenangan.

Yang kurindukan adalah kue keju, nastar, sagu, apa pun namanya.
Mereka berteman baik denganku di hari itu.

Yang kurindukan adalah masakan khas setiap tetangga.
Saling bersilaturahmi sembari mencicipi hidangan yang disediakan.

Yang kurindukan adalah ketika ponselku tak henti-hentinya berbunyi.
Semua kontak di ponselku menyampaikan maafnya.

Yang kurindukan adalah gema takbir yang berkumandang dari setiap penjuru kota.
Menusuk gendang telingaku, membangkitkan keimananku.

Yang kurindukan adalah ketika berkumpul dengan sanak saudara.
Bercanda, tertawa, terkadang pertengkaran kecil, saling berbagi kebahagiaan.

Yang kurindukan adalah aku, kedua kakakku, dan kedua orang tuaku saling berpelukan dalam tangis kemenangan.

Ya, inilah hari itu. Hari kemenanganku. Hari kemenangan kita semua.

Selamat datang wahai Lebaran. Ini adalah suratku untukmu.

Rabu, 08 September 2010

ANDAIKAN MATA DAPAT BERBICARA

Usianya memang masih terbilang muda, 23 tahun tepatnya. Panggil saja dia Tole. Kulit hitamnya membalut tubuh tinggi besar yang dia miliki. Tak heran banyak orang merasa takut padanya. Belum lagi tato bergambar burung elang dan tengkorak di lengannya dan beberapa bekas luka di wajahnya menambah kesan sangar. Konon, dia pernah tertembak hingga peluru menembus pipinya. Ya, percaya atau tidak, tetapi seperti itulah ceritanya.

***

10 tahun yang lalu di gang Mangga


“BUAK!!!” Terdengar suara gebukan dari dalam rumah itu.
“Ampun, Pak.. Ampuni Tole..” Tole memohon kepada Ayahnya.
Tak menghiraukan permintaan anaknya, ayah Tole membentak, “DASAR ANAK KURANG AJAR!!! PERGI KAU DARI RUMAH INI!!!”
“Ta.. Tapi, Pak. A.. Aku mencuri makanan ini untuk kita semua..” Tole membela diri.
“PERGI KAU!!! DAN JANGAN PERNAH KEMBALI!!!” Teriak ayahnya sambil mengacungkan kayu di tangannya.

Melangkah lunglai, Tole pun akhirnya pergi meninggalkan kedua orang tuanya dan seorang adik perempuan bisu kesayangannya.

***

“Siniin duit elo atau gue matiin elo sekarang.” Bisik Tole sambil memamerkan belati yang menggantung di pinggangnya pada kawanan siswa SMU di sisi jalan. Tak mau ambil resiko, mereka pun menuruti perkataannya.

Tole memang dikenal sebagai preman di daerahnya. Kehidupannya sehari-hari tak lepas dari minuman keras, pelacur, dan berkelahi. Sel tahanan sudah seperti majalah langganan yang setia mendatanginya setiap minggu.
Masa kecilnya yang suram membuat dirinya menjadi seperti sekarang ini. Satu hal yang dirindukan Tole adalah adik kesayangannya. Pikirannya terbang menembus batas waktu untuk sepersekian detik. Lamunan akan adik kecilnya lalu dialihkan oleh sapaan seorang pria yang dikenalnya.

“Oi, Le. Baru dapet duit ya lo? Nanti malem kita minum lagi dong kalo gitu?”
“Yoi, Sob. Nanti malem ya di tempat biasa. Gue bayarin semuanya deh. Lumayan juga kantong anak SMA jaman sekarang. Tebel banget! Hahaha..”
“Sip, deh. Nanti gue kabarin anak-anak yang lain kalo gitu. Gue lanjut ngasong dulu ya, Bos.”
“Oke, Jek. Nanti malem yee jangan lupa..”

Malam pun tiba. Segerombolan pemuda terlihat sedang asyik menenggak botol miras di sebuah warung remang sambil bermain kartu.

“Bangsat!!! Kalah aja terus!!! Kapan gue menangnya!?!” Teriak seorang pria gemuk kepada Tole.
“Hahaha. Tenang, Sob. Anggap aja ini duit minuman yang gue bayarin buat kalian.” Tole tertawa puas sambil menghitung uang kemenangannya.
“Iya, nih. Si Tole emang paling jago main beginian. Curiga pake Jin Tomang.” Jeki mengeluh.
“Oi! Lo semua pada lihat gak tuh cewek cakep barusan lewat? Godain, yuk?” Kali ini seorang pria kurus dan berambut panjang yang berbicara.

Perhatian mereka teralih pada seorang gadis belia yang sedang berjalan. Tubuhnya yang montok seakan mengundang kawanan serigala itu berbuat jahat. Bisikan setan pun dengan mudah masuk ke telinga mereka yang setengah sadar. Mereka berjalan mengikuti gadis itu.

Diterangi oleh sinar rembulan dan dinginnya angin malam, gadis itu terus berjalan tanpa menyadari ada bahaya yang mengintai di belakangnya. Semakin gelap dan sepi, empat serigala itu mulai menyergap mangsanya.

“Halo, cantik. Mau ke mana sendirian malem-malem?” Goda Jeki sambil menarik tangan si gadis.

Gadis itu tersentak, lalu mencoba melarikan diri.

“Eit, mau ke mana lo? Gak mungkin bisa lari. Mending temenin kita.” Si gemuk dan kurus berbicara berbarengan.

Gadis itu membuka mulutnya, mencoba berteriak tetapi tak ada sedikit pun suara yang keluar.

“Wah, bisu, Bos. Gak bisa ngomong.” Ucap si kurus kepada Tole.

Tole menghampiri gadis itu, menatap dalam ke arah matanya.

“Rasanya gue pernah lihat muka dan mata ini.” Tole menggunyam.

Gadis itu menatap balik mata Tole. Seakan berbicara dan memohon. Raut wajahnya menampakkan kesedihan yang teramat sangat. Tole tak menghiraukan. Mereka akhirnya membawa gadis malang itu ke tempat yang lebih sepi lalu memulai aksinya secara bergiliran.

Lemas. Tak tahan dengan keberingasan kawanan serigala itu, gadis itu tewas.
Tak menunjukkan kepanikan, seakan sudah terbiasa, mereka berempat memutuskan untuk membuang mayat gadis itu ke sungai lalu membubarkan diri ke tempat tinggalnya masing-masing.

***

Malam semakin larut. Tole tak kunjung terlelap. Dia gelisah. Wajah dan tatapan mata gadis malang itu masih terbayang di dalam benaknya.

“Ini sudah hari kedua sejak kejadian itu. Kenapa masih saja terbayang wajahnya? Siapa dia sebenarnya?” Pikirnya.

Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, memaksanya turun dari tempat tidur untuk mencari kegiatan lain. Dia akhirnya menyalakan televisi. Tole terkejut sekaligus mual melihat berita di televisi.

“Minarsih, seorang gadis berusia 18 tahun ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan di pinggir kali. Minarsih diduga telah menjadi korban perkosaan….”

Tole mematikan tivinya lalu kembali ke tempat tidur. Keesokan harinya dia ditemukan tewas dalam keadaan gantung diri.

Selasa, 07 September 2010

PULANG

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu sendirian berdiam diri di tepi bukit. Aku duduk di dalam mobilku sembari memperhatikan pemandangan di dataran yang lebih rendah.
Seakan sedang menunggu sesuatu. Sesuatu yang tak kunjung datang.

Aku memang memiliki kebiasaan aneh sedari kecil. Ketika teman-temanku mengajak bermain, aku selalu menolak. Memilih untuk diam di kamar menatap langit-langit yang menjadi medan perang cicak dan nyamuk.

“Doni.. Ayo makan dulu, Nak..” Suara ibu terdengar dari luar kamar. Aku pura-pura tak mendengar. Biasanya membutuhkan tiga panggilan sebelum akhirnya aku beranjak dari kamarku itu.

“Doni, ayo makan..” Suara ibu semakin keras. Nada bicaranya pun menjadi lebih datar. Masih tak kuhiraukan. Sang cicak telah berhasil meringkus lebih dari tiga ekor nyamuk di kamarku.

“Do.. Ni.. Al.. Fi.. An.. Di..” Ibu memanggil nama lengkapku dengan terpatah-patah.
Barulah aku beranjak dari kamar menuju ruang makan. Tanpa bicara. Tak bersuara. Aku menyelesaikan makan malamku lalu kembali ke kamarku.

Ya, memang seperti itulah aku.
Dibilang bisu aku sebenarnya bisa bicara, tetapi aku lebih memilih untuk diam. Mungkin karena itu aku tak memiliki banyak teman.
Waktu istirahat di sekolah pun aku lebih banyak diam di kelas. Membuat gambar atau membaca buku sambil menunggu jam pelajaran berikutnya datang sementara murid yang lain bermain di lapangan sekolah atau jajan ke kantin belakang.

***

Hal terakhir yang aku ingat adalah aku terbangun di dalam mobil di tepi lembah yang sama. Aku sama sekali tak tahu di mana letak lembah ini, tetapi entah mengapa aku menyukai suasananya.
Hamparan karpet berwarna hijau dibatasi oleh tebing di setiap sisinya, menghiasi pelupuk mataku. Kupu-kupu yang saling berkejaran. Sinar matahari hangat yang menyentuh kulitku.
Dan yang paling aku suka adalah kesunyiannya. Aku dapat mendengar detak jantungku sendiri di sini.

“WOOOOOYYYYY…..!!!!!” Aku berteriak. Sayup-sayup terdengar suara gaung yang terpantul.

“GUA DONIIII….!!!!! NAMA LO SIAPA…..!?!?!” Gaung kembali terdengar.
Kekecewaanku muncul ke permukaan. Aku berharap ada yang menjawab pertanyaanku.

Aku kesepian. Sangat kesepian.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa kesepian yang teramat sangat. Aku membutuhkan seseorang untuk diajak berbicara.

***

Petir menggelegar. Gerombolan prajurit awan hitam mulai bergantungan di atas langit. Seketika menembakkan butiran peluru air ke arah bumi.
Aku bergegas masuk ke dalam mobilku. Menatap ke arah lembah dari dalam mobil.
Pandanganku terhalang oleh tetesan air hujan di kaca mobilku. Aku berusaha menghitung berapa banyak tetesan air yang ada di kaca mobilku.

“Bodoh..” Aku berbicara pada diriku sendiri.

Aku memejamkan mata. Sekilas muncul bayangan seorang wanita yang nampak familiar.
Mukanya tak begitu jelas, tapi aku tahu wanita itu pasti sangat cantik. Seperti seorang bidadari.

“Siapakah engkau gerangan?” Aku bertanya pada diri sendiri lalu tertidur.

***

Hari demi hari pun berlalu, masih di tempat dan dengan kegiatan yang sama.
Aku mencoba menyalakan mesin mobilku untuk yang ke sekian kali setiap harinya. Namun, seperti biasa. Tak ada reaksi apa pun terhadap mesin mobilku ketika kuputar kuncinya.

Mulai merasa bosan. Aku melangkah ke tepi bukit.

“Apa yang akan terjadi jika aku melompat dari ketinggian seperti ini, ya? Apakah aku akan mati?”

Aku memejamkan mata lalu melompat. Bayangan wanita itu pun kembali muncul.

“DUAK!!!” Terdengar suara benturan benda tumpul.

Aku menyentuh dasar lembah. Mataku pun terpejam.

Beberapa saat kemudian aku terbangun kembali di dalam mobilku.

Aku bergegas keluar. Lalu berteriak, “APA YANG SEBENARNYA TERJADI PADA DIRIKUUU…..!?!?!”

Gaung kembali terpantul. Tetapi kali ini aku seperti mendengar seseorang yang memanggil namaku.

“Doniii.. Doniii.. Doniii..”

Aku mengacuhkannya. “Itu cuma halusinasi.” Pikirku.

***

Hujan kembali turun. Kali ini lebih deras dari biasanya. Namun, aku tak masuk ke dalam mobil.
Aku berbaring di atas tanah. Membiarkan tetesan air membasahi wajahku. Menyatu dengan air mataku. Aku menangis.
Kupejamkan mata. Kembali terbayang wajah wanita itu.

“Siapakah kamu? Kenapa kamu selalu muncul setiap aku memejamkan mata?”

***

Aku menyadari air hujan tak lagi membasahi wajahku. Aku membuka mata. Seorang wanita sedang berdiri di sampingku.
Ya, wanita yang selalu muncul di bayanganku. Dia sedang memayungiku sambil tersenyum. Menatapku dengan penuh kasih sayang.

“Doni..” Wanita itu memanggil namaku. Tak kuhiraukan.

“Doni.. Ayo ke sini..” Dia kembali memanggilku. Aku berdiri mendekatinya.

“Do.. Ni.. Al.. Fi.. An.. Di.. Ayo, Nak, ikut ibu..”

“Ibu?”

“Iya, Nak. Ibu datang menjemputmu. Mari kita pulang.”

“Baiklah, Bu.”

***
Aku membuka mataku. Aku berada di sebuah ruangan serba putih, dengan hiasan dinding berupa beberapa lukisan murah bergambar buah-buahan dan foto sebuah gedung tua.
Aku terbaring di atas kasur dengan keadaan tak berdaya. Kabel-kabel infus menusuk lenganku.
Mataku pun teralihkan pada sesosok manusia yang berada di sampingku, menggenggam tanganku erat. Dia tertidur.
Aku menggenggam tangannya lebih erat. Dia pun terbangun. Lalu tersenyum, menatapku dengan hangat. Air mata mengalir di wajahnya.

Aku mencoba membuka mulutku.

“Halo, Ibu. Aku sudah kembali.”

Senin, 06 September 2010

MALAIKAT PENCABUT NYAWA

Malam temaram tak berbintang. Sang rembulan mengintip malu di balik awan gelap yang syahdu.
“Aku menyukaimu. Sejak pertama kali kita bertemu. Tak tahukah kamu perasaanku?” Aku menggunyam.
Tak lama, ponselku bordering. Senyumku membuncah melihat nama Nindya di layar. Seketika perasaanku melambung ke angkasa.

“Hi, Aldy.. Lagi apa?”

Suara merdu itu kukenali dengan sangat baik. Aku bisa membayangkan senyum manisnya di balik ponsel.

“Halo, Nindy.. Aku seperti biasa, lagi ngopi sambil merokok di teras menikmati malam.”
“Aih, dasar kamu cowok melankolis. Kerjaan tiap malam sedari dulu pasti itu. Ckckck.”
“Ya, maklumlah, proyekan lagi sepi. Ada apa, Nind? Kok tumben menelepon semalam ini?”
“Ah, iya. Begini, kamu besok ada acara nggak? Ketemuan, yuk! Aku punya kejutan untukmu.”
“Boleh. Di mana? Jam berapa?”
“Hmm, di Kopi Jago. Tempat kita biasa ngumpul waktu dulu. Jam 1, ya! Pokoknya awas kalau kamu gak jadi datang.”
“Siap, Nyonyaaah..”
“Oke, see you tomorrow, dy.. Good night..”
“Night, Angel..”

***

Aku tiba di Kopi Jago tepat pukul 12 siang. Aku tak biasa membuatnya menunggu. Ya, sejak pertama kali jumpa dan berteman di bangku kuliah, aku tak pernah membuat dia menunggu barang sedetik pun.

“Selamat siang, Mas. Silakan, mau pesan apa?”
“Siang. Pesan hot chocolate saja, Mbak.”
"Oke, tunggu sebentar ya, Mas."

Siang itu sebenarnya panas, tetapi aku membutuhkan minuman yang dapat membuatku rileks. Aku sudah membulatkan tekadku. Aku akan menyatakan perasaanku pada Nindya.

“Silakan, Mas, pesanannya.”
“Terima kasih.” Ucapku seraya berjalan ke arah meja kosong di pojokan yang menjadi tempat favorit kami berdua.

Tak lama kemudian Nindya datang. Aku memperhatikannya dari tempatku berada.
Kemeja kotak-kotak, celana jeans ketat, dan flat shoes berwarna coklat yang serasi dengan tas kulitnya selalu menjadi setelan kesukaannya.
Belum lagi rambutnya yang diikat ekor kuda memamerkan lekuk lehernya yang menjadi daya tarik tersendiri. Dilengkapi kacamata goofy yang menghiasi paras cantiknya.

“Ah, sempurna. She's my angel. Dia wanita impianku.” Ucapku dalam hati sembari melambaikan tangan ke arahnya.
“Aldyyy!!!” Dia mempercepat langkahnya menghampiriku, lalu memelukku.

***

Seolah tersihir, waktu yang berjalan begitu cepat menunjukkan pukul 4 sore. Berbagai percakapan konyol kami bahas untuk melepas rindu. Mulai dari perkenalan di masa orientasi, sampai berbagai petualangan kita ketika menjelajah pantai-pantai di pulau Jawa-Bali. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“I have something for you, Dy.”
“Really? What is it? I have something for you too.”

Nindya tersenyum, mengeluarkan sebuah kotak kecil. “Open it.” Ucapnya dengan lembut.

Sedikit heran melihat benda di dalamnya, aku berkata, “A ring? For me? What is it all about?”

“I’m getting marry, Dy. And I want you to be my bestman since we’re such a good friend.”

Aku diam tanpa kata. Lidahku kelu.
Semua kata yang aku persiapkan untuk menyatakan cintaku kini menguap, menyatu dengan udara.
Aku memberinya senyuman palsu.
Kebahagiaanku kini telah sirna.
Kebahagiaanku yang selalu menjadi arti hidupku.

Selasa, 06 April 2010

Modus Operandi Penjahat Baru! Nekad atau Cakap?

“Sudah jatuh tertimpa tangga”, peribahasa ini sangat cocok untuk menggambarkan nasib ibu S. Entah mimpi apa semalam, ibu S yang masih dalam suasana duka karena ditinggal oleh seorang anggota keluarganya, harus mengalami nasib sial, Dia kehilangan sebuah tas beserta isinya (dompet, sejumlah uang, kartu identitas, kartu kredit). Naasnya lagi, kejadian itu berlangsung di rumah duka (di daerah Cikutra, Bandung), beberapa saat setelah pengajian selesai dilakukan.

Kejadian ini berlangsung begitu singkat. Di tengah riuh rendah para kerabat, keluarga, dan sanak saudara yang sedang dirundung duka lara, ternyata ada seekor “tikus” di antara mereka. Seorang pemuda tinggi kurus, menggunakan jaket kulit hitam dan jeans lusuh “nyempil” di acara duka itu. Sebenarnya, cukup banyak orang-orang yang menyadari kehadiran si pemuda itu, tetapi mereka semua berpikiran, “Ah, paling itu anaknya ibu ini” atau “Ah, paling juga saudaranya siapa”. Ternyata eh ternyata, tak disangka-sangka ternyata pemuda itu sengaja menyusup dan berbaur dengan orang-orang di sekitarnya dengan niat jahat. Dia terlihat baik dengan mempersilahkan para tamu untuk masuk ke dalam, dan pada saat acara puncak (makan-makan) dimulai pun dia lebih mendahulukan orang yang lebih tua.

Jelas saja dia demikian baik, ternyata dia mencari celah pada saat orang-orang sedang sibuk mengantri makanan. Dia dapat dengan bebas masuk ke dalam rumah dan menemukan sebuah tas tergeletak. Setelah berhasil mengambil tas tersebut dan menyembunyikan di balik jaketnya dia pun langsung “ngibrit” keluar dari rumah, melewati para tamu yang duduk di teras dengan terburu-buru, lalu menghampiri kawannya yang menunggu di ujung jalan menggunakan sepeda motor.

Beberapa saat kemudian barulah ibu S sadar. Dia keluar rumah, bertanya pada para tamu yang sedang berkumpul di teras dengan nada panik, “Aya nu ningali budak make jaket kulit hideung dikekeweuk ngaliwat dieu?” (Ada yang lihat pemuda berjaket kulit hitam lewat sini?). “Nembe bieu ngalangkung bu, namun teras naek motor sareng rerencangana. Kunaon kitu ibu?” (Baru saja lewat bu, tapi langsung naik motor sama temannya. Kenapa memangnya bu?). Ibu S sentak berteriak, “Tas saya! Tas saya hilang! Tas saya dicuri sama dia!”. Namun, apa mau dikata selain "Nasi sudah menjadi bubur".

by : Wiraldi @byusyem Kurniadi