About Me

Foto saya
I play at everybody's mind. I live in everybody's heart.

Senin, 27 September 2010

HARGA SEBUAH KEJUJURAN

Aku sudah sampai di basement gedung itu. Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Tak ada seorang pun di sana. Hanya ada suara nafasku, gema langkahku, suara hewan pengerat yang sedang berkeliaran mencari makanan, dan beberapa mobil yang masih terparkir. Mungkin itu milik beberapa karyawan yang sedang lembur.

Lampu neon mengedipkan cahayanya sesekali kepadaku, seakan enggan memberikan penerangan. Cahaya remang membuatku setengah buta. Berkali-kali kakiku menginjak genangan air di lantai. Sampai akhirnya aku tiba di depan mobil itu. Sebuah kijang berwarna hitam dengan nomor polisi B 3471 KYT. Sebagian besar kacanya dicat oleh phylox berwarna hitam juga, membuat pandanganku terhalang menembus ke dalam mobil itu. Kecuali kaca depan, aku dapat melihat seorang pria menggunakan tutup kepala berwarna hitam membuat dirinya terlihat seperti ninja.

Sesuai perjanjian, aku harus melakukan panggilan setibanya aku di depan mobil itu. Jariku dengan sigap menekan tombol redial di ponselku. Tak lama nada sambung terhenti, pertanda panggilan sudah tersambung.

“Aku sudah sampai. Apa yang harus kulakukan?” Ujarku.

“Masuk ke dalam mobil.” Jawab seorang pria di seberang ponsel.

Pria seperti ninja turun dari bangku depan lalu membukakan pintu belakang. Dia menatapku. Sorot matanya memerintahkan aku untuk masuk ke dalam.

Hampir tak ada penerangan sama sekali di dalam mobil itu. Pria seperti ninja itu menutup pintu, lalu terdengar bunyi klik. “Ya, Aku sudah di dalam mobil.” Kataku.

“Bagus. Kami sudah menyiapkan welcome drink untukmu. Minumlah. Kau akan tertidur setelahnya. Driver akan membangunkanmu jika sudah sampai tujuan berikutnya. Kita sudahi pembicaraan ini.”

Pembicaraan pun terputus. Pandanganku yang kabur tertuju pada sebuah gelas yang tersimpan di nampan di atas kursi.

“Minum.” Kata pria seperti ninja itu.

Aku pun menurutinya, cairan di dalam gelas itu habis kutenggak. Mobil pun mulai melaju. Tak lama mataku terasa sangat lelah. Tubuhku pun lemas. Sampai akhirnya kesadaranku pun hilang


***
Siang hari beberapa jam sebelumnya..

“Selamat siang, Pak.” Sapa seorang wanita cantik dari balik mejanya.

“Siang, Andien. Panas banget ya hari ini? Gak kebayang kalo di neraka panasnya kayak gimana. Hehehe.” Jawabku sembari berjalan menuju ruanganku. Andien membalas dengan senyuman.

Siang itu memang sangat terik. Matahari begitu bersemangat kala itu. Air conditioner di ruang kerjaku tak berguna dibuatnya. Keringatku mengalir dengan deras menuruni wajahku. Beberapa kali aku harus membersihkan berkas-berkas pekerjaan yang kejatuhan keringatku.

“Andien, bisa tolong ke ruanganku sebentar?” Ujarku melalui telepon.

“Baik, Pak.” Jawab Andien. Beberapa saat kemudian Andien memasuki ruangan. “Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya.

“Ini, Ndien. Amplop dari Bapak Agung tolong kembalikan ya. Keras kepala juga orang itu.” Kataku sembari menyodorkan amplop tebal seukuran uang kertas.

Namaku Rudi Sudiro. Aku adalah seorang hakim yang dikenal dengan kejujuran dan ketegasan dalam menangani kasus apa pun. Saat ini, kasus yang sedang kutangani adalah kasus penggelapan uang senilai ratusan miliar di sebuah bank ternama. Sudah sekian ribu kasus yang kutangani secara adil. Dan, sudah sekian ribu juga uang sogokan yang kukembalikan. Prinsip utamaku dalam melayani orang lain adalah kejujuran. Oleh karena itu aku selalu menolak uang sogokan yang diberikan kepadaku. Namun, adakalanya beberapa di antara mereka yang keras kepala, berusaha untuk terus menyuapku.

“Baik, Pak. Biar saya kembalikan ke Bapak Agung. Ada yang lain, Pak?” Celetuk Andien.

“Oh, iya. Tolong sekalian panggilkan tukang reparasi AC ya. Sepertinya AC di ruangan saya rusak. Gak kerasa dingin sama sekali.” Pintaku.

“Iya, Pak Rudi. Kayaknya di semua ruangan lagi pada rusak deh AC-nya. Gak tahu gara-gara memang panas yang keterlaluan.” Keluh Andien. “Ya, sudah. Nanti saya panggilkan tukang reparasi AC terus saya kontak Bapak Agung. Ada lagi, Pak?” Lanjutnya.

“Nope. Itu saja. Terima kasih ya, Andien.” Ucapku sembari melemparkan senyum. Andien pun pamit keluar ruangan. Aku kembali membaca berkas-berkas di mejaku. Tiba-tiba mejaku bergetar. Ponselku berdering, sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponsel.

“Halo?” Ujarku. Hening. Tak ada jawaban. Hanya ada hembusan napas berat di seberang sana. Panggilan pun terputus. Aku kembali membaca berkas-berkas kasus di mejaku. Tak lama, ponselku kembali berdering. Nomor barusan kembali meneleponku.

“Ya? Halo? Ini siapa?” Tanyaku. Kali ini terdengar suara seorang pria. Agak aneh, sepertinya pria itu memakai alat pengubah suara.

“Bapak Rudi?” Katanya.

“Ya, betul. Ini siapa.” Ujarku.

“Kau tak perlu tahu siapa identitasku. Kami telah menyandera istri dan putrimu. Jika ingin nyawa mereka selamat, ikuti perintahku.” Kata pria itu. Terdengar suara erangan di belakangnya.

“Menyandera? Apa maksud Anda? Sebaiknya anda tidak bergurau, kawan.” Kataku. Lelaki itu diam, tidak menghiraukan perkataanku.

Suara erangan di belakangnya berubah menjadi suara wanita dan anak perempuan yang sedang meminta tolong. Suara yang kukenal.

“Paaa, tolong kami, Paaa.. Kami disandera oleh para penjahat, mereka membawa senapan. Tolong kami, Paaa..” Istriku berteriak. Aku dapat mendengar putriku menangis di sampingnya.

“A.. Andrea.. Ka.. Kamu baik-baik saja?” Ujarku.

Pria dengan alat pengubah suara kembali berbicara sebelum istriku sempat menjawab pertanyaanku.

“Kini Anda tahu betapa seriusnya kami, Pak Rudi. Sebaiknya Anda tidak bermain-main dengan kami. Kamilah yang bermain-main dengan Anda.” Nadanya menunjukkan ancaman dan keseriusan.

“Apa yang kau inginkan dariku?” Aku berusaha tetap tenang. Pria itu menjawab.

“Malam ini, tepat pukul sembilan, datanglah ke gedung apartemen yang terbakar bulan lalu. Sebuah mobil kijang hitam akan
menunggu Anda di basement gedung itu. Jika sudah sampai telepon kembali ke nomor ini.”

Aku diam mendengarkan, mencatat perkataannya di sebuah kertas.

“Kita sudahi pembicaraan ini. Ingat, jangan libatkan polisi atau siapa pun jika Anda ingin mereka selamat.” Lanjutnya. Panggilan pun terputus.

Aku bergegas keluar dari kantorku. Perasaanku campur aduk, geram dan terancam. Andien menyapaku tetapi tak kuhiraukan. Aku mencoba menelepon ke rumah tetapi tidak ada yang mengangkat. Aku menancap laju mobilku. Pikiranku tak karuan. Banyak lampu lalu lintas yang kulanggar, aku hanya ingin cepat sampai di rumah, untuk memastikan kebenaran.

Setibanya di rumah aku mendapati mobil istriku terparkir di halaman. Aku berlari ke dalam rumah, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Semua ruangan sudah kuperiksa, hasilnya tetap saja nihil. Sempat terbersit pikiran untuk menelepon pihak berwajib, tetapi aku tak mau mengambil resiko kehilangan nyawa istri dan putriku. Aku memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikiranku, menantikan datangnya malam. Merasa kelelahan yang maksimal, mataku pun terpejam.


***

Aku terbangun di sebuah ruangan kecil berukuran 2x3 meter persegi. Dengan hanya bermodalkan bohlam lampu 5 watt untuk menerangi dan sedikit cahaya yang datang dari arah jeruji kecil di pintu. Sebuah ranjang, kursi dan pispot tergerai di lantai. Tanganku terikat, kepalaku pening, pandanganku masih kabur, dan tubuhku lemas. Sepertinya efek minuman di mobil barusan yang membuatku seperti ini. Tiba-tiba pintu terbuka. Terlihat sosok pria bertubuh besar memasuki ruangan.

“Bangun! Bos ingin bertemu denganmu.” Teriaknya sembari menendangi punggungku.

“Aku sudah bangun. Tak bisakah kau sedikit lebih sopan?” Kataku, berusaha terlihat tenang dan berani, hasilnya aku mendapat tendangan tambahan di bagian perut.

Aku mencoba bangkit, alhasil aku hanya bisa menyandarkan tubuhku di tembok, masih terlalu lemah untuk berdiri. Pandanganku tertuju pada pria bertubuh besar itu. Dia memakai penutup muka, membuat dirinya juga menjadi seperti ninja, sama seperti supir yang mengantarkanku ke sini. Agaknya semua telah direncanakan dengan matang. Entah ada berapa orang yang terlibat, tetapi pembagian tugas mereka sangat spesifik. Aku menyimpulkan pria ini adalah seorang algojo dari awaknya yang demikian besar

“Mana istri dan anakku?” Aku bertanya padanya.

“Mereka masih hidup. Dan akan terus seperti itu jika kau terus menuruti kami. Sekarang, bangun!” Jawabnya.

“Aku sudah bangun, tapi tubuhku terlalu lemah untuk berdiri.” Kataku.

“Cih. Ya sudahlah.” Ujarnya. Dia melangkah ke luar ruangan, tak lama, dia kembali bersama seorang pria. Tubuhnya yang ramping dibalut oleh setelan jas berwarna abu. Aku tak dapat mengenali wajah tampannya. Hidung mancung, matanya yang sipit memancarkan sinar ancaman padaku. Dia melangkah mendekatiku.

“So, this is mister Rudi. Hakim hebat dari Jakarta.” Ujarnya, sembari menyalakan cerutu di mulutnya. “Kau tahu kenapa kau ada di sini?” Lanjutnya.

Aku memalingkan wajahku, diam tak bersuara. Tangan besar sang algojo mendarat di wajahku. Pria berjas melambaikan tangannya, seakan memerintahkan si algojo menghentikan aksinya.

“Kau terlalu jujur, kawan. Itu bukan sesuatu yang baik di dunia yang kejam ini.” Katanya.

“Apa maksudmu?” Ujarku.

“Kau tahu betul apa maksudku. Kami sudah berkali-kali mengirimkan sejumlah uang padamu.”

“Ah, aku mengerti. Sepertinya kau suruhan Agung. Jadi semua ini terjadi karena kasus yang sedang kutangani. Aku tahu dia bersalah, jangan anggap kalian bisa meloloskan diri setelah apa yang kalian perbuat.” Kataku.

Kombinasi pukulan dan tendangan si algojo mendarat di wajah dan perutku. Kali ini pria berjas itu mendiamkan. Mulutku mulai mengeluarkan darah.

“Sebaiknya kau jaga mulutmu, kawan. Kau tahu resiko yang sedang kau hadapi bukan?” Ujar pria berjas itu. Dia menepuk bahu si algojo. Memerintahkannya untuk membuka pintu dengan lebar. Algojo itu mendekat ke arah pintu, lalu membukanya.

Di luar ruangan aku dapat melihat dua sosok orang yang kukenali baik. orang yang kusayangi. Terduduk lemas dan terikat di atas kursi. Seorang kawanannya yang lain menodongkan pistol di kepala mereka.

“Andrea! Indri!” Aku berteriak. Hasilnya nihil, mereka sepertinya tak sadarkan diri. Aku bangkit lalu mencoba berlari ke arah mereka. Tohokan si algojo kembali bersarang di perutku, aku jatuh tersungkur.

“Kau tahu apa yang akan terjadi pada mereka jika kau tidak menurut, kawan.” Ujar pria berjas.

Mereka lalu ke luar ruangan. Terdengar bunyi klik setelah pintu itu tertutup. Aku berdiri, menggedor pintu dan berusaha melihat dari balik jeruji kecilnya. Kudapati istri dan anakku masih di depan ruangan.

“Pikirkan ini baik-baik, kawan. Kariermu, atau mereka.” Kata pria berjas dari balik pintu. Sementara si algojo dan seorang kawannya berdiri di sisi istri dan anakku, menodongkan pistol di kepala mereka.


***
Suatu hari di sebuah rumah sakit jiwa..

Aku yang baru keluar dari kamar mandi ternyata ditinggalkan rombonganku. Untung saja mereka belum jauh. Aku melangkah menyusul rombonganku di luar gedung.

“Tolooong! Tolong selamatkan istri dan anakku!” Teriak seorang pria dari dalam sebuah kamar kepadaku.

Aku tersentak kaget. Aku diam memperhatikan dari depan pintu. Pria itu lalu kembali berteriak sambil menggedor pintu dan mengeluarkan tangannya dari jeruji kecil, berusaha menggapaiku. Aku yang merasa ketakutan langsung lari meninggalkannya.

“Suster, barusan ada yang berteriak dari dalam kamar, meminta istri dan anaknya diselamatkan.” Kataku pada seorang perawat yang sedang jaga di depan pintu gedung itu.

“Oh, itu. Pasien itu bernama Pak Rudi. Dia menderita Schizophrenia tipe Paranoid. Dia dulu seorang hakim. Beberapa tahun lalu dia menangani sebuah kasus sampai akhirnya kehilangan semuanya.” Suster menjelaskan kepadaku.

“Oh, begitu. Kasihan ya.” Kataku.

“Baiklah, anak-anak. Kunjungan kita hari ini sepertinya cukup sampai di sini. Sekarang kita kembali ke aula besar untuk mendiskusikan hasil kunjungan kita hari ini.” Seorang dosen pembimbing berteriak kepada rombongan.

“Oke, suster. Terima kasih. Saya harus kembali bersama rombongan. Permisi.”

Aku pun berlari meninggalkan suster dan gedung itu, kembali berbaur dengan rombongan mahasiswa.

2 komentar:

  1. 1. About PoV: ada perubaha PoV "aku" di paragraf akhir ya?

    2. Ironisnya bisa dibuat lebih tragis, mirip film Green Mile.

    3. Conclusion: overall good story

    BalasHapus
  2. Iya, mas. Di paragraf akhir "aku" berubah jadi seorang mahasiswa yang lagi kunjungan ke RSJ.
    Sebenarnya saya ingin mengesankan bahwa cerita sebelumnya itu hanya delusi pasien RSJ, tapi kayaknya ada kesalahan dalam pemilihan kata.
    Terima kasih atas komentarnya mas. :D

    BalasHapus