About Me

Foto saya
I play at everybody's mind. I live in everybody's heart.

Sabtu, 02 Oktober 2010

AKSI HEROIK

“Kebakaraaan! Kebakaraaan!” Udin berteriak membangunkan para tetangganya. Tak lama warga kampung Cidaun berkumpul di lokasi kebakaran.

“Cepat panggil pemadam kebakaran! Cepat sebelum apinya merambat!” Teriak Pak RW. Wajahnya tak dapat menyembunyikan kepanikan. Beberapa warga terlihat merogoh sakunya untuk mengambil ponsel di sakunya. Sedangkan yang lain menjadi panik karena api semakin besar.

“Oke! Semuanya tolong tenang. Bagi yang merasa pria tolong berkumpul di sini membentuk barisan, sementara wanita tolong kumpulkan wadah yang bisa menampung air, sebanyak mungkin! Kita harus bahu membahu memadamkan api ini!” Para warga seketika terdiam memperhatikanku.

Para wanita lalu mulai berhamburan ke rumahnya masing-masing mengikuti instruksiku. Sementara aku memerintahkan para pria agar membentuk beberapa barisan.

“Udin! Maman! Kalian berdua cepat ambil selang air, lalu hubungkan ke kran air terdekat! Cepat!” Kataku.

Mereka berdua lalu berlari mengikuti perintahku. Para wanita mulai kembali bergabung dengan kerumunan. Mereka lalu aku perintahkan membentuk barisan di belakang para pria. Beberapa barisan yang cukup panjang yang berujung di kamar mandi rumah seorang warga terdekat.

“Api ini tak akan bisa dipadamkan jika kita tidak bahu membahu. Ayo kita padamkan api ini!” Aku berteriak.

Para warga mulai mengestafetkan ember, gayung, baskom, dan semua wadah yang sudah terisi oleh air lalu melemparkan air ke arah si jago merah. Api terlihat mengecil, tapi hanya sebentar saja dia kembali berkobar. Udin dan Maman kembali membawa beberapa selang air. Tanpa harus diperintah mereka menghubungkan selang ke kran air terdekat.

“Ayo cepat! Kita butuh lebih banyak air!” Aku berteriak. Aliran wadah air berputar lebih cepat. Api terlihat semakin besar. Terdengar suara kayu berjatuhan dari dalam rumah yang kebakaran.

“Kak, tolong aku kak. Mimi masih ada di dalam rumah. Dia tertidur di dalam kandang. Aku lupa mengeluarkannya. Tolong, kak.” Adik Uci tiba-tiba menghampiriku sambil menangis. Kucing kesayangannya masih ada di dalam rumah.

“Udin! Ambil alih komando! Aku harus menyelamatkan mimi!”

“Tapi, Bang. Apinya semakin besar. Sudah tak mungkin bisa diselamatkan.” Udin berusaha mencegahku.

“Ah, sudah. Aku harus mencobanya!” Ujarku. Aku lalu membasahi badanku dengan air, menutup hidungku dengan sehelai saputangan yang sudah dibasahi. “Dik Uci, sebentar ya, kakak akan menyelamatkan Mimi. Kamu tunggu di sini ya sama papa dan mama.”

“Iya, kak. Tolong ya, kak.” Adik Uci terisak sambil memelukku. Aku pun berlari menerobos kobaran api. Para warga berteriak histeris melihat aksi heroik-ku. Udin mulai membuka mulut mengambil alih komando.

“Mimiii.. Mimiii.. Sini mpusss..” Aku berteriak di tengah kobaran api. Tak ada jawaban. Hiruk pikuk di luar tergantikan dengan suara nyala api. Aku terus melangkah. Lidah api berusaha menjilatku. Untung saja aku sudah membasahi badanku.

“Mimiii.. Mimiii.. Kamu di manaaa? Sini mpusss..” Kali ini aku mendengar suara kucing di kamar belakang. Semangatku terbakar sepanas api di sekelilingku. Aku menerobos ke ruangan itu.

“Meong..” Mimi mengeong setelah melihatku. Aku lalu menghampirinya.

“Sini mpus.. Tenang ya, Mimi. Om akan mengeluarkanmu dari sini.” Ujarku sambil membuka kandang itu.

Aku membuka jaketku, lalu membalutkannya pada tubuh Mimi. Kami lalu berlari ke luar dari rumah itu. Tetapi keadaan semakin parah. Kayu-kayu mulai berjatuhan. Api terasa membakar tubuhku. Asap mulai merasuki hidungku. Aku hampir hilang kesadaran. Berjalan, dan terus berjalan. Sampai akhirnya aku mendengar suara bising selain kobaran api. Aku sudah semakin dekat dari pintu keluar. Tiba-tiba segelondongan kayu terjatuh dari lantai dua. Kayu itu berhasil menimpa tubuhku. Hampir kehilangan kesadaran, aku masih dapat mendengar teriakan para wanita melihat kejadian itu. Tak lama, aku pun kehilangan kesadaran.

***

“Adi.. Adi.. Ayo bangun..” Suara halus seorang wanita menusuk telingaku. Aku masih setengah sadar.

“Adi.. Ayo bangun.. Nanti kamu terlambat sekolah..” Kali ini suara itu disertai goncangan ke arah tubuhku. Aku mulai tersadar.

“Sekolah? Aku kan mati tertimpa kayu waktu mau nyelamatin kucing.” Pikirku.

“Adi! Apa-apaan kamu! Udah kelas 3 SMA masih ngompol! Malu-maluin aja kamu ini! Ayo cepat bangun sebelum ibu pukul pakai penggebuk kasur!” Ibu berteriak kepadaku. Aku tersentak kaget setelah dia menggebuk kasur untuk membangunkanku.

Kasurku terasa begitu dingin. Celanaku pun basah. Ternyata aku memang benar-benar mengompol. Aku pun beranjak dari kasurku menuju kamar mandi.

“Sial. Belaga jadi pemadam kebakaran. Pake sok-sokan nyelamatin kucing segala. Udah gitu mati pula. Eh, ternyata gue ngompol.” Aku berbicara kepada cermin.

“Mimpi yang aneh.” Ujarku.

1 komentar:

  1. hahahah ceritanya seru juga bikin deg - deg an. coba, yang diselamatkan itu bukan kucing...misalkan kambing gitu biar lebih dramatis atau gak bonekanya "mr. bean" pasti lebih nyebelin lagi ya....

    BalasHapus